Home Politik Raja Yogyakarta Ingatkan Pejabat Bukan Pusat Kekuasaan

Raja Yogyakarta Ingatkan Pejabat Bukan Pusat Kekuasaan

Yogyakarta, Gatra.com - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyebut pejabat harus menerima kritik dengan besar hati. Pejabat masih menganggap sebagai pusat kekuasaan.

Hal itu disampaikan dalam pidato Sapa Aruh Sultan HB X: Peringatan Sewindu UU Keistimewaan DIY di Bangsal Pagelaran, Keraton Yogyakarta, Senin (31/08), dan disiarkan langsung di Youtube Pemda DIY. Sultan menyampaikan pidato berjudul 'Mengolah Kritik dan Menata Desa sebagai Basis Keistimewaan DIY’.

Menurut dia, penerbitan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang KeIstimewaan DIY bersumber dari peristiwa bersejarah saat dua kerajaan merdeka memandatkan diri bergabung dengan RI yang masih muda.

“Proses ini layaknya ijab kabul, ikatan batin sehidup-semati antardua pihak setara yang tak bisa diputus secara sepihak. Peristiwa itu juga bisa dimaknai sebagai pergeseran peradaban monarkhi ke demokrasi. Sebuah bentuk demokrasi khas Yogyakarta, yang di Barat disebut demokrasi deliberatif,” kata Raja Keraton Yogyakarta ini.

Menurutnya, peringatan UUK DIY melalui berpikir reflektif dengan esensi introspeksi-kritis yang sifatnya aktif,  terus-menerus dan teliti, agar bisa menemukan ide-ide inovatif yang menghasilkan kesimpulan transformatif yang memiliki perspektif peradaban ke masa depan.

“Tujuan akhirnya adalah kesejahteraan segenap rakyat DIY yang gradasinya semakin meningkat secara berkelanjutan,” ujarnya.

Dengan begitu, ia meminta organisasi perangkat daerah (OPD) memiliki kelapangan dada terhadap kritik masyarakat. Birokrasi, meski tidak dinilai anti-kritik, kurang membuka ruang dialog aspiratif.

“Keistimewaan DIY itu toh disangga sinergi tiga pilar: kaprajan-kampus-kampung”. Kampung adalah representasi masyarakat segala lapisan, maka bukankah kritik itu bisa kita tempatkan dalam lingkup keluarga sendiri sebagai otokritik?” tuturnya.

OPD juga dituntut memiliki transparansi dan akuntabilitas. Meski demikian, ia sering mendengar kritik masyarakat. Kritik itu harus diterima oleh OPD dengan penuh kebesaran hati.

“Pusat dari pelayanan publik adalah rakyat, bukan lagi pejabat. Ironisnya, budaya melayani ini belum merasuk menjadi sikap, karena mindset umumnya ASN masih beranggapan, pejabat adalah pusat kekuasaan. Sehingga dalam menjawab persoalan masyarakat sering terkesan defensif,” ujarnya.

Padahal, kata dia, rakyat berhak menuntut pertanggung jawaban publik atas kualitas layanan pemerintah. “Bukankah juga kita mengenal budaya pépé, tradisi kawulâ berjemur diri di Alun-Alun Utara, menunggu Sultan menjawab keluhannya?”

Ia mengaitkan peran OPD dalam penyaluran bantuan sosial Covid-19. ”Seandainya ada yang salah sasaran, secara teknis efektifitas bantuan bisa kita betulkan bersama. Persoalan ini mencuat, karena pejabat di kabupaten/ kota yang semestinya memahami data-base, juga tidak mengetahuinya,” kata dia.

Pidato Sultan dihadiri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang juga selaku Ketua Parampara Praja, lembaga penasihat di Pemda DIY. Hadir pula Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X  dan permaisuri Keraton Yogyakarta GKR Hemas.

Selain soal kritik, Sultan juga mengapresiasi banyaknya desa mandiri di DIY. “Siasat kebudayaan perlu didorong untuk menuju kemandirian desa. Keistimewaan DIY diharapkan mampu menjawab tantangan tersebut,” ujarnya.

224