Home Politik Mahasiswa Jadi Fungsi Kontrol Sosial dalam Pilkada

Mahasiswa Jadi Fungsi Kontrol Sosial dalam Pilkada

Solo, Gatra.com – Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember mendatang, ditengarai problematika utama yang bakal muncul, yakni banyaknya kabar bohong yang beredar di masyarakat dan kentalnya politik identitas. Padahal kedua hal ini dianggap akan melemahkan demokrasi di Indonesia. Untuk itu perlu adanya kontrol dari mahasiswa agar berfungsi optimal sebagai fungsi kontrol.

Hal ini mengemuka dalam diskusi virtual bertajuk bertajuk ‘Strategi-Partisipas Mahasiswa Mengawal Pilkada 2020 Berkualitas dan Damai’ yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Persoalan yang dihadapi pada Pilkada kali ini masih berkutat pada berita bohong, hate speech, hingga black campaign.

”Untuk itu mahasiswa harus turut serta sebagai social control di masyarakat untuk mengatisipasi hal-hal tersebut,” ucap Presiden BEM FH UMS Aditya Ramadhan pada diskusi ini.

Masih banyaknya ditemukan berita hoaks hingga adu domba yang berlandaskan politik indentitas saat ini memang masih beredar di masyarakat. Padahal politik identitas ini dianggap menumpulkan rasionalitas pemikiran masyarakat. Sehingga sistem demokrasi berpotensi dilumpuhkan.

”Tak jarang politik identitas ini membuat retak kondisi di masyarakat. harapannya mahasiswa bisa turut serta untuk mengawal Pilkada kali ini dengan nilai integritas,” ucapnya.

Sementara itu pembicara lain, Direktur Riset Setara Institute, Halili mengatakan, mahasiswa memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Mahasiswa harus berfungsi sebagai kontrol terhadap kekuasaan agar tidak menyimpang.

”Peran mahasiswa ini sangat urgen untuk membantu fungsi kontrol pada kekuasaan. Sebab kontrol pengawasan di tingkat elit sangat lemah,” ucapnya.

Selain itu mahasiswa juga berfungsi untuk menjaga soliditas dan kohesi sosial di masyarakat. Apalagi selama ini dalam pelaksanaan kontestasi politik, baik pemilu maupun pilkada, yang paling berbahaya adalah politisasi agama.

”Politisasi agama ini bersifat destruktif dan merusak kebhinekaan yang menjadi pondasi tegaknya negara,” ucapnya.

702