Home Politik Demokrasi Didamba, tapi Politik Dianggap Tercela

Demokrasi Didamba, tapi Politik Dianggap Tercela

Yogyakarta, Gatra.com - Saat ini muncul gejala menginginkan demokrasi, tapi di sisi lain ingin membelenggu politik praktis dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tercela. Sejak era Reformasi, praktik demokrasi Indonesia punya banyak PR alias pekerjaan rumah.

Hal itu dituturkan pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, saat bedah buku karyanya ‘Tonggak Politik’ yang digelar secara daring, Senin (14/9) petang.

“Di Indonesia itu, ada gejala mendambakan demokrasi tapi memenjarakan politik. Politik dikonotasi sesuatu yang buruk, semua harus diukur dengan moralitas hukum. Tidak bisa demokrasi hanya andalkan peran moralitas hukum. Yang kita perlukan juga adalah bekerjanya politik secara substantif,” ujarnya.

Sebelumnya ia menjelaskan, partai politik menikmati buah paling besar dari agenda reformasi. Sejak itu, parpol memiliki kuasa besar untuk memberi makna demokrasi. Parpol memang memiliki sejumlah capaian yang harus diapresiasi seperti mengangkat isu-isu publik.

“Namun ada capaian parpol yang belum memenuhi harapan. Oligarki, politik dinasti, hingga politik rente itu menjadi PR partai politik,” kata pengajar dan Kepala Departemen Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM itu.

Hanya saja, kata dia, seburuk apapun, parpol tak boleh dihancurkan dan tak boleh dibunuh, melainkan harus direformasi. ”Tidak cukup demokrasi dengan hanya menyelenggarakan pemilu secara rutin, tapi juga harus mereformasi partai,” kata dia.

Arie menyatakan, agenda reformasi parpol tersebut sebenarnya tak cukup hanya dengan menata kelembagaan parpol. Parpol semestinya juga menjadi motor untuk menghadirkan keadilan dan pemerataan capaian pembangunan.

Di sisi lain, demokrasi Indonesia menghadapi tumbuhnya milisi sipil yang mengambil alih peran negara. “Negara harus memiliki kredibilitas.Tidak boleh negara takut pada gerombolan orang,” kata dia.

Namun negara juga harus mendapat kontrol dari masyarakat sipil. “Demokrasi itu bukan sistem terbaik, tapi sistem minim risiko daripada sistem lain. PR kita bukan menjalankan demokrasi secara rutin, tapi memberi makna demokrasi agar berkualitas,” tuturnya.

Untuk itu, menurut Arie, politik perlu bekerja secara substantif dan sehat dengan melibatkan partisipasi publik di arena diskursus, termasuk di media sosial. “Memang ruang publik kita di medsos mengalami kekumuhan, hoaks, dan kepentingan yang mendahului nalar publik,” ujar Komisaris Independen BUMN PT RNI ini.

Di forum yang sama, ekonom Faisal Basri sebelumnya menyatakan demokrasi Indonesia sedang diuji. “Indeks demokrasi kita menurun tajam, terutama dalam budaya politik. Kita merasakan fungsi check and balances melemah antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif,” ujarnya.

Menurut dia, agenda pemerintah dan DPR semakin tertutup. “Hari ini saja raker DPR dengan Kementerian BUMN tertutup. Urusan BUMN hampir selalu tertutup,” ujarnya.

Selain itu, kata Faisal, banyak represi terhadap rakyat yang tengah bersengketa dengan korporasi. “Korporasi diuntungkan dan dibela. Masyarakat adat dan petani makin banyak yang tergusur dan tidak bisa memperjuangkan hak dasar mereka,” kata dia.

254