Home Politik Pendanaan Politik di Pilkada, Jadi Strategi Bisnis Pengusaha

Pendanaan Politik di Pilkada, Jadi Strategi Bisnis Pengusaha

Jakarta, Gatra.com - Peneliti University Van Amsterdam, Ward Berenschot, berpandangan saat ini fenomena pengusaha atau pebisnis untuk mendanai kampanye calon pemimpin daerah, baik bupati atau walikota saat pemilu sudah menjadi suatu strategi bisnis.
 
Ward melihat, para pengusaha tersebut akan mengambil keutungan dari pendanaan kampanye seorang calon pemimpin daerah, dimana hasilnya akan menjadi peluang bisnis yang menggiurkan ketika calon tersebut terpilih atau keluar sebagai pemenang Pilkada di daerah tersebut.
 
"Kita sudah tau bahwa mendanai politik adalah sebuah strategi bisnis saat ini, dan itu ada beberapa dampak yang tidak baik timbul dari situ," kata Ward saat hadir dalam Webinar Ekonomi Politik 'Cukong' dalam Pilkada yang dilakukan LP3ES secara daring, Rabu (16/9).
 
Dampak buruk yang ditimbulkan dari hubungan politik yang dibangun lewat pendanaan politik, Lanjut Ward, diantaranya adalah kedepan para pengusahaan bisa menggunakan koneksi mereka dengan pemerintahan daerah untuk bisa lolos dari beberapa peraturan atau regulasi yang sejatinya bisa mengganjal bisnis mereka.
 
"Perusahaan mereka juga bisa saja mendapat pengutamaan terhadap izin atau kontrak terhadap aktivitas bisnis di wilayah tersebut, atau juga perusahaan bisa menggunakan koneksinya untuk memperoleh keuntungan dari peraturan yang dikeluarkan pemerintah," jelasnya.
 
Ward juga mencontohkan beberapa fonem apa dari pembiayaan politik dari pengusaha, salah satunya pada kasus Gubernur Lampung, Muhammad Ridho Ficardo, yang dengan pengalaman minim, maju sebagai Cagub Lampung periode 2014-2019 dengan dukungan full dari Sugar Group, yang notabenenya adalah pelaku bisnis gula terbesar di Indonesia. 
 
Diungkapkan Ward, Rdiho mendapatkan sokongan dikarenakan yang bersangkutan merupakan anak dari direktur Sugar Group. "Saat itu pengamat politik banyak berbicara tentang banjir gula, karaena banyak saku gula yang di distribusikan di Lampung. Saat itu banyak ditemukan Bawaslu juga," tuturnya.
 
Dari fenomena tersebut, Ward mengatakan bahwa RIdho yang akhirnya memenangkan Pemilihan Gubernur tersebut membawa peluang bisnis terhadap Sugar Group selaku pendana kampanye dia saat itu, untuk meraih kesempatan untuk memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) dari kebun gula yang mereka punya di Lampung.
 
Dari situ, Ward memberikan solusi agar tidak ada lagi kasus serupa yang ditemukan dalam politik elektoral dalam negeri. Salah satu solusinya adalah melalui Electoral Refom atau Reformasi Elektoral untuk menurunkanongkos kampanye pemilu. 
 
"Supaya calon pemimpin daerah tidak begitu bergantung pada orang bisnis, kalau maju jadi pemimpin. Supaya orang biasa juga bisa jadi pemimpin. Supaya tidak harus ada hubungan transaksional diantara pebisnis dan politik," paparnya.
 
Ada empat usulan yang diberikan, pertama dirinya menilai prosesi Pemilu antara Pilkada dan Pileg dapat diintegrasikan. Nantinya Calon terpilih atau Calon nomor 1 dari partai terbesar di DPRD dapat didorong menjadi Bupati atau walikota.
 
Nantinya, hal tersebut dipercaya akan merangsang kolaborasi antar partai, dengan tetap memungkinkan orang untuk memilih pemimpin mereka. Integrasi, Lanjut Ward, adalah solusi yang lebih baik dibandingkan dnegan menghapus pemilihan langsung.
 
"Itu bisa memperkuat kan parpol di Indonesia, bisa menurunkan ongkos politik karena hanya satu pemilu, dan juga parpol punya instentif untuk memilih seorang yang memang populer atau disukai oleh masyarakat," jelasnya.
 
Selain itu, tiga usulan lainnya disampaikan ward adalah penyelenggara pemilu harus sudah bisa menggunakan Electronic Voting untuk menghindari saksi TPS yang mahal. Selain itu, Bawaslu juga harus diberikan mandat lebih, agar lebih tegas mengawasi vote buying atau serangan fajar.
 
"Usulan lainnya yakni menaikkan dana negara untuk parpol serta dengan tegas melakukan pelarangan atas mahar politik," pungkasnya.
1551