Home Info Sawit Pekebun Plasma di Muba: 'Maaf, Loe Gue, End!'

Pekebun Plasma di Muba: 'Maaf, Loe Gue, End!'

Sungai Lilin, Gatra.com – Tak pernah terbayangkan oleh Bambang Gianto dan kawan-kawan bakal menjadi pekebun kelapa sawit seperti sekarang. Sebab semula, mereka adalah warga transmigrasi umum yang dikirim oleh pemerintah dari Pulau Jawa dan sekitarnya ke kawasan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), pada tahun 1981-1982 silam. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka bertanam palawija.

Tapi tahun ’90 an, perusahaan masuk ke daerah itu membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Mereka kemudian diajak menjadi pekebun kelapa sawit plasma --- binaan perusahaan itu.

Semula hubungan mereka dengan perusahaan, baik-baik saja. Kebetulan, perusahaan yang menjadi bapak angkat ini disebut banyak orang, enggak neko-neko. Belakangan perusahaan sudah mengantongi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pula, plasma pun kebagian.

Tapi lama kelamaan, kemesraan itu mulai ternoda. Konversi ---- pengalihan pengelolaan dan pembayaran hutang dari perusahaan ke koperasi --- terlambat dua tahun. Tudingan bahwa ada unsur kesengajaan dari perusahaan sempat mencuat lantaran setelah petani menggelar aksi demo, barulah urusan konversi itu tuntas.

Noda-noda lain yang menyusul bermunculan antara lain; perbedaan pandangan soal sortase (potongan). Pekebun ingin potongannya biasa saja, tapi maunya perusahaan pakai aturan main Peraturan Menteri Pertanian (Permentan). Belakangan muncul solusi lain; sortasi free, tapi buah yang enggak lolos, disuruh bawa pulang.

Meski mulai merasa dikadali seperti itu, pekebun tetap saja masih loyal. Buktinya walau sempat terjadi gejolak harga setelah bermunculannya Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tanpa kebun di kisaran tahun 2004, pekebun enggak tergoda untuk menjual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawitnya ke PKS tanpa kebun itu.

“Sejak 8 tahun lalu, kami para pekebun sepakat untuk menjadi petani mandiri saja, tidak lagi bermitra dengan perusahaan itu. Jujur, kemitraan yang sudah terjalin selama ini sebenarnya sudah bagus, tapi yang tak enak-enak di masa lalu, sulit untuk dihapus” cerita Bambang kepada Gatra.com, saat diajak bertandang ke kebun mereka.

Baca juga: PSR Muba, Bisa Panen Tanpa Duit Hutang 

Keputusan mandiri itu mencuat setelah suatu hari, Bambang cs ketemu dengan pemilik perusahaan di Palembang. “Di pertemuan itu dia bilang, enggak ada kewajiban perusahaan untuk me-replanting kebun kami. Bener-bener sakit hati kami mendengar omongan itu, Pak,” kenang Bambang.

Walau sudah ngomong begitu, anak buahnya tetap saja masih berkali-kali mengajak Bambang cs berunding. “Kami ladeni juga. Di perundingan itu kami tanya seperti apa konsep kerjasamanya, biar nanti kami analisa. Tapi sampai kami mau replanting, konsep itu enggak pernah nongol. Mana mau kami kerja sama kalau cuma lewat omongan, kami ini bukan petani tahun 90-an lagi. Masa perusahaan sebesar itu enggak bisa membikin Rancangan Anggaran Biaya (RAB), aneh aja kan? Terus, kami minta supaya perusahaan jadi offtaker saja, enggak mau pula,” katanya.

RAB tak nongol-nongol, perusahaan malah menyodorkan cost replanting yang nilai perhektarnya sekitar Rp61 juta. “Dibilang pula harga itu sudah sesuai standar Dirjenbun. Kami enggak maulah, petani sudah pintar, kok. Kami kan sudah bisa menghitung sendiri, harga segitu bagi kami sangat mahal. Sebab setelah kami hitung-hitung, biaya replanting dari P0-P3, bisa kok di bawah Rp55 juta,” urai Bambang.

Satu lagi kata Bambang, oknum petinggi perusahaan ternyata berusaha menutup-nutupi informasi soal dana bantuan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS). “Kayaknya mereka mau mengarahkan kami ke single management. Orang dari Jakarta sempat dibawa untuk mem-back up biar single management itu jadi,” katanya.

Dari akumulasi kejadian itu, Bambang cs makin malas berurusan dengan perusahaan dan pilihan replanting (peremajaan) mandiri, justru semakin bulat. Uniknya, pada 2015 itu, yang memilih mandiri ternyata bukan cuma Mukti Jaya, tapi juga tujuh koperasi lainnya. Semua koperasi ini berada di 13 desa di dua kecamatan; Sungai Lilin dan Keluang. Total luas lahannya mencapai 7000 hektar.

Keputusan replanting mandiri itu pun tidak sekadar keputusan. Petani punya duit kok, walau enggak besar. “Waktu itu kami sudah punya duit sekitar Rp100 miliar. Itu tabungan anggota yang nilainya sekitar Rp40 juta sampai Rp50 juta,” cerita Bambang.

Baca juga: Duit Rp25 Juta Cukup Hingga P3

Walau petani plasma, anggota kata Bambang tidak punya Iuran Dana Peremajaan Tanaman Kebun (Idapertabun). “Dulu kami pernah ditawari Jiwasraya, tapi kami enggak tertarik. Entah kenapa waktu itu ada rasa enggak enak saja. Eh ternyata Jiwasraya kayak begitulah kondisinya sekarang,” kenang Bambang.

Selain Idapertabun tadi, para petani sempat juga punya asuransi. Tapi bermasalah. Itulah makanya kami enggak lagi, termasuk Idapertabun itu. Teman kami yang punya Idapertabun, sulit mengklaimnya. Nilainya miliaran rupiah,” katanya.

Untuk mengantisipasi sumber duit peremajaan kelak, petani menabung di bank. “Kami bikin rekening atas nama koperasi dan kelompok tani. Diteken oleh bertiga orang. Tabungan itu kami namakan simpanan peremajaan kebun. Ada juga simpan pinjam di kelompok,” Bambang merinci.

Biar anggota tidak kaget soal replanting mandiri tadi, saban ada rapat-rapat, rencana itu dilontarkan. Lama kelamaan, anggota paham dan nurut. “Kami sudah terbiasa rebug. Persoalan apapun pasti kami bicarakan bersama, ini demi meminimalisir potensi persoalan menjadi melebar,” ujar Bambang.

Sebelum masuk ke teknis replanting, petani rembug dulu. Maunya anggota seperti apa, ditanyakan. “Permintaan anggota cuma satu; berapa nanti duit yang habis, segitulah beban petani. Permintaan itu kami sanggupi. Memang kayak begitulah semestinya. Sebab yang punya koperasi itu kan anggota,” katanya.


Abdul Aziz

 

2436