Home Politik Nyaris Dua Dekade RUU Masyarakat Hukum Adat Tersendat

Nyaris Dua Dekade RUU Masyarakat Hukum Adat Tersendat

Jakarta, Gatra.com - Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Dr. Laksanto Utomo, S.H., L.L.M, mengatakan, banyaknya konflik atas tanah milik masyarakat adat, salah satunya karena tidak adanya undang-undang yang melindungi masyarakat adat.

Laksanto dalam webinar bertajuk "Kondisi Terkini Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayatnya" yang digelar Pushamka Fakultas Hukum (FH) Andalas (Unand) Padang dan Universitas Sumatera Utara (USU)?, Sabtu (26/9), menyampaikan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat masih terkatung-katung sudah hampir 2 dekade.

"Kita melihat nasib rancangan RUU Masyarakat Hukum Adat sudah lebih dari 15 tahun hingga kini tidak mempunyai kejelasan," ujarnya.

Menurutnya, koalisi masyarakat sipil, termasuk para akademisi khawatir RUU ini kembali tidak masuk dalam prolegnas, sehingga kepemilikan masyarakat adat kian lama tidak terlindungi. Perlu komitmen pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan RUU ini.

"Komitmen atas RUU tidak cukup di atas kertas. Jadi beberapa yang diucapkan dan diutarakan oleh beberapa perguruan dan akademisi bermuara pada RUU Hukum Masyarakat Adat ini agar segera disahkan oleh DPR," ujarnya.

APHA Indonesia terus mendorong agar RUU ini dirampungkan dan disakan menjadi UU demi melindungi masyarakat adat dan ulayatnya. APHA Indonesia pun sudah kembali meminta melakukan pertemuan dengan Baleg DPR untuk membahas kelanjutan RUU ini.

"Karena kondisi pandemi, jadi kami belum bisa diterima. Kemudian, seminar tentang keberadaan masyarakat adat, RDP APHA Indonesia dengan DPD, saat itu kemudian audiensi," katanya.

Menurutnya, tidak disahkannya RUU Masyarakat Hukum Adat hingga belasan tahun bahkan 2 dekade, menunjukkan bahwa ini sangat jelas diperlambat. Padahal, pengakuan masyarakat adat akan ulayat dan lain-lainnya sudah sangat mendesak.

"Agar beberapa hal yang diharapkan, seperti dari para akademisi yang muaranya pengakuan ulayat segalanya ada di UU Masyarakat Hukum Adat ini," katanya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand), Prof. Dr. Busyra Azheri, mengatakan, perlu kemauan politik pemerintah dan DPR soal RUU Masyarkat Hukum Adat ini. "Perlu ada political will jika pemerinah mengakui," ujarnya.

Dosen FH Unand, Dr. Zefrizal Nurdin, S.H., M.H., menjelaskan, di Minang Kabau, tanah adat atau ulayat tidak bisa diatasnamakan individu. Ini demi menjaga hubungan mamak kepada kemenakannya.

"Kalau diindividualisasi maka itu akan hilang. Itu yang keberatan para tokoh Minang, sehingga banyak yang menolak, itu hukum yang hidup. Sertifikasi itu bukan ke individu tapi tetap milik komunal," ujarnya.

268