Home Ekonomi Pembatik Jateng Mati Suri karena Pandemi

Pembatik Jateng Mati Suri karena Pandemi

Semarang, Gatra.com - Sebanyak 100 pengrajin batik yang tergabung dalam Asosiasi Profesi Batik Tenun Nusantara (APBTN) Bhuana Jawa Tengah mengalami krisis semenjak pandemi melanda Indonesia.

Wakil Ketua APBTN Bhuana Jawa Tengah, Abdul Kholiq Fauzi, mengatakan, kondisi para pelaku usaha batik baik pengrajin maupun penenun di wilayah Jawa Tengah cenderung "pingsan" karena pandemi Covid-19.

Menurut Fauzi, kondisi para pengrajin mengalami krisis sudah terasa semenjak bulan Maret di awal musim pandemi Covid-19 hingga bulan September. Hal ini ditandai dengan lesunya penjualan dan omzet.

"Omzet menurun drastis, penghasilan terjun bebas sehingga berbagai cara sudah ditempuh oleh para pengrajin untuk bisa bertahan hidup di tengah pandemi sekarang ini," kata Fauzi saat di temui di ruang produksi Batik Gemawang di Desa Gemawang, kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jumat (2/10).

Fauzi yang juga pemilik Batik Gemawang menjelaskan, banyak perajin yang bertahan hidup dengan cara menjual stok yang ada hingga berwirausaha dengan menjual di luar produk batik.

"Banyak yang mengurangi produksi hingga mengurangi karyawan agar pengrajin bisa tetap eksis di masa pandemi ini," kata Fauz.

Namun demikian, kata Fauzi, dengan datangnya momentum Hari Batik Nasional, sepertinya tak ingin dilewatkan pengrajin batik di Ungaran, Kabupaten Semarang di tengah pandemi Covid-19 saat ini untuk menggenjot penjualan.

saat ini, upaya yang dilakukan Fauzi dengan produk batiknya untuk mendongkrak penjualan adalah dengan memberikan diskon khusus untuk batik tulis.

“Batik Gemawang memang dikenal dengan batik tulis. Jadi, di hari Batik Nasional kami ingin menarik pelanggan lama dengan memberikan diskon 20% khusus batik tulis,” kata Fauzi kepada Gatra.com.

Tak hanya batik tulis yang mendapatkan diskon. Batik nontulis pun ia bandrol harga miring dengan diskon 10%.

Langkah ini diakuinya sebagai upaya menghidupkan kembali usaha mereka yang sempat ‘mati suri’ selama enam bulan karena pandemi Covid-19. Serta, membiarkan 19 pekerjanya kembali berinovasi dengan karya yang baru.

“Saat enam bulan kemarin omzet yang hilang hampir 90%. Tapi, sejak akhir September hingga awal Oktober ini bisa mulai bernapas,” ujarnya.

Sebagai upaya menghidupkan kembali usahanya, Abdul Kholiq Fauzi mengaku, menghabiskan stok batik yang telah dibuat selama pandemi namun tidak laku terjual.

“Kami tetap berproduksi saat pandemi, semata-mata agar karyawan kami masih bisa bekerja. Dengan menghabiskan stok yang ada diimbangi diskon diharapkan usaha batik kami kembali menggeliat,” kata Fauzi.

Setidaknya, dengan momen Hari Batik Nasional pula orderan dari Pemda Kabupaten Semarang serta lembaga mengalir manis. Ia juga mempersilakan pelanggannya yang ingin menyodorkan desain sendiri sepanjang mampu dikerjakan.

178