Home Ekonomi Program Ketahanan Pangan, Ujian Komitmen Lingkungan Jokowi

Program Ketahanan Pangan, Ujian Komitmen Lingkungan Jokowi

Jakarta, Gatra.com – Program ketahanan pangan nasional yang diinstruksikan Presiden Jokowi akan segera diwujudkan dengan pembangunan food estate di Kalimantan Tengah. Pemerintah dikabarkan tengah menyiapkan 165 ribu hektare lahan di Kalimantan Tengah. Jika rencana tersebut terlaksana diprediksi menyumbang sekitar 20 persen bagi cadangan pangan nasional.

Proyek pembangunan lumbung pangan itu direncanakan berlokasi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dimana di kawasan itu terdapat 48 ribu hektare lahan yang mampu memproduksi 4 ton setara beras per hektare setiap tahunnya. Namun hingga saat ini belum jelas bagaimana kajian terhadap lahan dan tanah (soil survey) yang ada di kawasan tersebut.

Kalimantan Tengah, seperti umumnya daerah di Borneo, memiliki karakteristik lahan mineral dan gambut. Bila pemerintah menarget pembangunan lahan di atas 100 ribu hektare maka diprediksi akan ada lahan gambut yang hilang karena dikonversi menjadi lahan pertanian.

Laporan Greenpeace Southeast Asia 2020 menyebutkan rencana baru Presiden Jokowi untuk mengubah lahan gambut yang lebih rentan di Kalimantan Tengah menjadi lahan pertanian berskala besar berisiko mengurangi kesalahan yang sama dan ke depannya menyebabkan kebakaran gambut lebih lanjut.

Masih menurut studi Greenpeace, proyek lahan Gambut Sejuta Hektar, selain gagal menghasilkan pangan, juga menimbulkan risiko kebakaran yang berkepanjangan. Hal itu merujuk pada penelitian Marlier pada 2019 bila karhutla berlangsung tanpa peningkatan komitmen nol deforestrasi yang signifikan dari industri dan pemerintah, diprediksi asap karhutla menyebabkan kematian dini tahunan sebanyak 36.000 di seluruh Indonesia dan negara tetangga.

Senior Manager Forests & Commodities, WRI Indonesia, Andika Putraditama mengatakan pihaknya turut mengkritisi kebijakan Ketahanan Pangan Nasional yang digagas pemerintah. Pertama, pemerintah menurutnya harus terlebih dulu membuktikan stok ketahanan pangan saat ini berada dalam kondisi kritis (stockout) dimana harus menggenjot produksi beras domestik.

“Tapi inipun juga dipertanyakan kenapa dibuka di lahan yang dekat dengan gambut atau di lahan gambut?. Dan sampai sekarang pemerintah hanya mengumumkan satu tahapan dimana lahan sawah tersebut akan dicetak. Tetapi tidak pernah ada publikasi, AMDAL, atau informasi apapun yang lebih detil, baik lokasi percetakan dari sawah baru itu,” ujar Andika dalam webinar “Build Back Better: Bangkit dari Krisis dengan Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Kehutanan” pada Sabtu (3/10).

Hal kedua, yang kurang mendapat perhatian yakni intensifikasi produksi. Andika berpandangan pemerintah cenderung mengambil jalan pintas untuk meningkatkan produksi pangan dengan membuka lahan baru. “Padahal produksi komoditas di Indonesia, mau itu sawit, mau itu padi, mau itu gula, rata-rata keluaran atau yield-nya itu masih rendah. Apalagi ketika lahan tersebut dikelola oleh perusahaan kecil menengah atau masyarakat,” katanya.

Ia berpandangan lebih baik pemerintah fokus pada intensifikasi produksi terhadap komoditas unggulan dan potensial namun belum optimal dikelola. “Kalau kita mau take better di sektor kehutanan dan sektor agrikultur, harus dilakukan intensifikasi produksi. Dimana kita petakan komoditas yang tumbuh tapi yield-nya rendah. Prioritaskan investasi ke daerah itu dulu, bibit lebih baik, menggunakan best practices di bidang pertanian,” ujarnya.

Pemerintah, sambung Andika, tidak pernah membuka hasil kajian spasial atas lokasi yang akan dijadikan food estate. Padahal menurutnya itu penting dalam menentukan arah kebijakan. "Pemerintah tidak pernah transfaran terhadap data spasial pembangunan area lahan food estate, baik itu di Papua maupun Kalimantan Tengah," katanya.

Menurutnya tanpa transfaransi akan sulit bagi semua pihak memastikan apakah lahan tersebut dikelola di lahan yang semestinya. "Tanpa ada kejelasan mengenai area yang akan ditanami sawah, kita (publik) tidak bisa melakukan analisa mengenai lahan tersebut, apakah betul di lahan mineral. Tidak pernah dibuka datanya," ucap Andika.

Di kesempatan berbeda, Kepala Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik mengatakan saat ini perusakan hutan dan lahan gambut adalah sumber utama polusi udara. Pemerintah menurutnya belum mempunyai implementasi yang jelas dalam komitmen penyelematan lingkungan.

“Pemerintah tidak transfaran dan tidak jelas bagaimana delivery-nya. Terutama untuk topik yang penting seperti Karhutla, terlalu banyak over cliam sementara secara konsisten penegakan hukumnya gagal atau tidak bekerja dengan benar,” ujar anggota Greenpeace Indonesia itu.

Greenpeace memberikan rekomendasi agar pemerintah fokus pada reindustrialisasi berkelanjutan dan hijau yang berfokus kepada industri yang memiliki nilai tambah tinggi dan ramah lingkungan. “Selain itu kita fokus pada pengembangan usaha mikro dan kecil untuk memberdayakan secara inklusif tenaga kerja Indonesia. Serta tak kalah penting penguatan ekonomi berbasis desa, komunal, dan masyarakat adat,” pungkasnya.

661