Home Ekonomi Ekonomi Ramah Lingkungan, Suburkan Investasi, Tren Global

Ekonomi Ramah Lingkungan, Suburkan Investasi, Tren Global

Jakarta, Gatra.com - Iklim investasi dan bisnis di Indonesia dinilai belum ramah lingkungan. Pembabatan hutan masih marak terjadi dan penggunaan energi fosil semakin merajalela. Celakanya, kebijakan biodiesel yang selama ini diklaim pemerintah ramah lingkungan, justru berpotensi menggunduli hutan Indonesia.

Jika pemerintah menggenjot kebijakan biofuel B-100, maka tambahan Crude Palm Oil (CPO) yang dibutuhkan mencapai 10,58 juta ton. Artinya lahan sawit baru semakin meluas dan hutan semakin menyempit.

Dari sisi regulasi, aspek lingkungan malah dianggap menghambat investasi. Hal itu terlihat dari keinginan Pemerintah menghapus beragam peraturan terkait ancaman pengrusakan lingkungan lewat RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Dalam UU tersebut, terlihat ada keingin mengkebiri izin lingkungan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam berusaha. Aturan sapu jagat itu, oleh banyak kalangan, dianggap berpotensi meningkatkan emisi karbon dan perubahan iklim.

Kepala Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik mengatakan bahwa Omnibus Law dapat melemahkan pengelolaan lingkungan, menghambat pembangunan rendah karbon hingga meningkatkan kebakaran hutan.

Bahkan di tengah upaya negara maju menerapkan energi bersih, pemerintah menurutnya malah memberi keleluasaan bagi perusahaan batu bara mengeksploitasi dengan masif hasil tambangnya.

“Tidak ada lagi tools yang bisa menjaga supaya perusahaan tidak semena-semana membuka lahan,” kata Kiki dalam temu editor virtual, yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan World Resources Institute (WRI) Indonesia, pada Sabtu (3/10).

Kontradiktif dengan di Indonesia, tren bisnis dan investasi di luar negeri justru semakin ramah lingkungan. Para pemangku kebijakan dan penentu keputusan menyadari risiko terbesar yang dihadapi global saat ini yakni dampak kerusakan lingkungan.

Berdasarkan laporan World Economic Forum 2020, persoalan lingkungan menjadi aspek paling penting yang harus diatasi. Tingkat urgensinya lebih tinggi dibandingkan persoalan teknologi, politik dan ekonomi.

Senior Manager Forests and Commodities, WRI Indonesia, Andika Putraditama menyatakan semakin banyak perusahaan global yang mengeliminasi kerusakan lingkungan dan deforestasi di dalam bisnisnya. Di 2012 terdapat 135 perusahaan global yang berkomitmen menghilangkan kerusakan lingkungan. Jumlah perusahaan tersebut meningkat di 2018 menjadi 473 perusahaan.

Di antaranya adalah perusahaan sawit, kayu dan kertas, kedelai hingga perusahaan peternakan. “Jumlah perusahaan yang berkomitmen di lingkungan hidup, naik,” ujar Andika. Ia mengatakan, meski belum ada implementasi, tetapi keinginan pemerintah menjalankan ekonomi ramah lingkungan sebenarnya sudah terlihat.

Misalnya membuat moratorium izin pembukaan lahan di hutan secara permanen. Selanjutnya ada moratorium izin sawit, Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan dan kebijakan satu peta. Sayangnya, komitmen itu nihil implementasi.

Menurut Andika beberapa faktor sulitnya pemerintah menjalankan ekonomi berbasis ramah lingkungan disebabkan sikap di internal kabinet yang terbelah. Program low carbon development and green economy yang diusung Bappenas, ternyata tidak sejalan dengan kebijakan Kementerian Koordinator Perekonomian.

Kemenko Ekonomi, terangnya, malah gencar membuka lahan sawah di Kalimantan Tengah hingga Food Estate di Papua. “Pemerintah kita terkenal tidak mempunyai konsekuensi terhadap komitmen lingkungan hidup. Itu yang jadi satu masalah besar,” sambungnya.

Di ksempatan yang sama, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Riki Frindos, CESGA mengatakan investasi ke depan akan memperhitungkan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola usaha. Para investor, trennya, akan memilih perusahaan yang bisnisnya tidak merusak lingkungan. “Perspektif para investor dan para fund manager, kalau saya mau investasi, mau taruh uang, saya harus memperhatikan isu-isu lingkungan,” katanya.

Pasalnya investor, terang Riki, mulai menciptakan portofolio investasi yang memperhitungkan risiko perubahan iklim. Banyak lembaga pembiayaan dan perbankan saat ini mulai mempertimbangkan ancaman kerusakan lingkungan dalam pemberian modal investasi. “Sekarang pembiayaan lihat apakah portofolio ini sudah sesuai dengan Paris Agreement,” ujarnya.

Sementara Indonesia, menurut Riki, belum beradaptasi dengan investasi berkelanjutan. Padahal untuk jangka panjang, perusahaan yang tidak peduli dengan aspek lingkungan maka akan kesulitan mendapat pendanaan investasi. “Bisa jadi 10-15 tahun lagi, kita justru kesulitan mendapat investasi. Karena tidak memenuhi syarat yang diinginkan oleh para investor tersebut,” katanya.

Ia mencontohkan Storebrand Asset Management ASA, investor swasta terbesar Norwegia, sempat membatalkan kucuran dana investasi ke Brasil karena melakukan deforestasi di hutan Amazon. Swiss Bank juga membatalkan pendanaan ke dua negara bagian di Australia karena tidak memenuhi prinsip perubahan iklim.

Riki memprediksi, investasi yang berkelanjutan atau green investment akan menjadi tren global. Jika Indonesia tidak ingin kesulitan menggaet investor, sudah saatnya pemerintah dan industri di Indonesia meninggalkan bisnis yang merusak lingkungan.

“Kita jangan sampai ketinggalan. Kita jangan lagi kebanyakan mengadu-ngadu antara ekonomi dengan ekologi, investsi dengan lingkungan,” tutupnya.

1204