Home Politik Rugikan Masyarakat Adat, APHA Tolak UU Cipta Kerja

Rugikan Masyarakat Adat, APHA Tolak UU Cipta Kerja

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menyatakan tetap menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang baru disahkan DPR dan Pemerintah, karena di antaranya, penghapusan ketentuan analisis dampak lingkungan (Amdal) sangat merugikan masyarakat adat.

Ketua Umum (Ketum) APHA Indonesia, Laksanto Utomo, Selasa (6/10), menyampaikan, pihaknya tetap konsisten menolak UU seperti sikap saat RUU ini masih dibahas di parlemen. Penolakan karena UU ini tidak berpihak kepada masyarakat adat, yakni soal ketentuan penghapusan Amdal sangat mengancam lingkungan dan masyarakat adat.

Menurutnya, APHA Indonesia pun akan melakukan diskursus dengan seluruh anggota dan jajaran soal UU Ciptaker ini untuk merencanakan langkah, termasuk kemungkinan melakukan uji materi (judicial review) ke Mahakamah Konstitusi (MK).

Dari awal, lanjut Laksanto, APHA Indonesia meminta agar pemerintah dan DPR tetap mempertahankan Pasal 40 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Pria yang mengajar di Universitas Sahid Jakarta ini, menjelaskan, Amdal sangat penting untuk menjaga lingkungan serta keberlangsungan kehidupan masyarakat adat yang sangat mempunyai komitmen pada kelestarian alam.

APHA Indonesia telah melakukan kajian dari sisi aspek hukum adat, khususnya tentang diubahnya aturan wajib izin lingkungan sebagai persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan sebagaimana dalam RUU tersebut.

Sebelum UU Ciptakerja, ketentuan izin lingkungan diatur dalam Pasal 40 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH. Pasal ini tegas menyatakan bahwa izin lingkungan merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin usaha atau kegiatan.

"Permasalahannya, UU Cipta Kerja telah menghapus Pasal 40 UU PPLH itu sebagaimana tertulis bahwa izin lingkungan diubah menjadi persetujuan lingkungan," katanya.

Persetujuan lingkungan adalah keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Akibatnya, definisi tentang Amdal pun mengalami perubahan.

Menurutnya, dalam UU PPLH, analisis mengenai Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.

Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja, lanjut Laksanto, definisi analisis mengenai dampak lingkungan hidup diubah menjadi, adalah kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.

"Perlu diingat bahwa izin lingkungan sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH, itu merupakan instrumen yang berfungsi untuk mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup," tandasnya.

Perubahan aturan izin lingkungan dan Amdal sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH sangat potensial berdampak terhadap hak atas tanah dan hutan (ulayat) yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat.

"Apalagi, saat ini hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat juga semakin terpinggirkan ketika ruang dan peluang investasi asing makin dibuka lebar oleh pemerintah," ungkapnya.

Pemerintah dan DPR harus mencermati kebijakan di bidang lingkungan hidup secara arif dan bijaksana, terutama dampaknya terhadap masyarakat hukum adat. Apalagi selama ini masyarakat hukum adat sama sekali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan tanah dan hutan ulayat yang mereka kuasai.

"Bahkan, hak-hak masyarakat hukum adat seringkali diabaikan saat tanah dan hutan ulayat mereka dijadikan atau terkena lahan perkebunan, HPH, dan pengelolaan sumber daya alam oleh korporasi atau investor," ungkapnya.

Idealnya, kata Laksanto, negara dan pemerintah melindungi dan berpihak kepada masyarakat hukum adat agar tanah dan hutan ulayat yang dikuasai tidak beralih kepada pihak lain, terutama korporasi atau investor.

Menurutnya, hal tersebut harus menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR agar masyarakat hukum adat tidak terusir dari wilayah adat dan ulayatnya karena alasan untuk dan atas nama pembangunan ekonomi seperti yang sering terjadi selama ini.

Masyarakat hukum adat memang rentan terzalimi oleh kebijakan penguasa dan kepentingan pengusaha, namun sesungguhnya merekalah dengan kearifan lokal mengenai lingkungan hidup yang mereka pegang teguh sebagai peninggalan para leluhurnya, itu adalah pejuang sejati yang menjaga kelestarian hutan dan tanah di wilayah adatnya.

"Perlu diingat bahwa kearifan lokal menjadi salah satu asas penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur Pasal 2 UU PPLH," tandasnya.

Karena itu, APHA Indonesia mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya akademisi hukum adat dan pecinta alam, untuk mengawal karena UU Ciptaker ini berpotensi merugikan lingkunan dan eksistensi kaum adat.

1486