Home Info Sawit Omnibus Law Disahkan, Petani Sawit Sumringah

Omnibus Law Disahkan, Petani Sawit Sumringah

Pekanbaru, Gatra.com - Joni Sigiro sontak sumringah setelah mendapat penjelasan soal sebahagian isi Undang-Undang Cipta Kerja alias Omnibus Law yang sudah disahkan oleh DPR, kemarin.

Sebab dia merasa bahwa lewat kitab setebal 905 halaman itulah penderitaan dia dan ribuan petani kelapa sawit di Indragiri Hulu (Inhu), Riau, bakal berakhir.

"Selama ini kami benar-benar bingung. Mau melawan perusahaan, kami enggak punya daya. Perusahaan punya duit banyak dan bisa menyewa 'tukang pukul' untuk menghalau kami. Bisa meracuni dan bahkan membakar sawit kami," wajah ayah empat anak ini nampak keruh saat berbincang dengan Gatra.com, Selasa (6/10).

Anggota Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) ini akhirnya bercerita panjang kalau sejak lebih dari 10 tahun lalu dia dan ratusan warga sudah 'dihajar' oleh perusahaan yang mengantongi izin konsesi.

Lahan yang dibeli dan kemudian ditanami kelapa sawit di Desa Talang Tujuh Buah Tangga Kecamatan Rakit Kulim itu, diklaim oleh perusahaan sebagai konsesinya. Padahal lahan itu sudah dilengkapi surat bahkan hingga diteken camat, sebagai bukti kepemilikan masyarakat.

"Benar-benar klenger kami dibikin perusahaan itu. Perusahaan itu mengaku-ngaku itu konsesinya. Saban kami minta bukti Berita Acara Tata Batas (BATB) nya, enggak pernah dikasi. Yang ada kami ditakut-takuti dengan membawa orang bersenapan laras panjang dan security," keluhnya.

Tak hanya orang Desa Talang Tujuh Buah Tangga yang mengalami nasib seperti itu kata Joni. Masih ada warga di Desa Simpang Kota Medan Kecamatan Kelayang dan sekitarnya yang juga bersoal dengan perusahaan pemilik konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).

"Sekarang dengan adanya undang-undang itu, kami benar-benar sangat berharap masalah kami bisa segera selesai. Kalau misalnya dibilang lahan kami di kawasan hutan dan kami musti bayar denda, kami mau, yang penting ada kejelasan. Kami pun bertanam sawit bukan untuk cari kaya, hanya untuk menyambung hidup," tegasnya.

Abdul Wahid, anggota Badan Legislasi DPR RI yang ikut membahas dan mengesahkan UU Cipta Kerja ini cerita, bahwa di UU itu memang diakomodir kepentingan petani kelapa sawit dan juga perusahaan kelapa sawit.

Ayah dua anak ini kemudian cerita, di UU itu disebutkan bahwa kebun kelapa sawit milik perorangan yang berada dalam klaim kawasan hutan, baik itu Hutan Produksi Konversi (HPK), Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) akan dilepaskan dari klaim kawasan hutan. Tidak ada gunanya mengklaim yang secara eksisting sudah bukan hutan lagi.

"Kalau kebun itu luasnya hanya 5 hektar, petani cukup melaporkan kebunnya kepada pemerintah, biar segera diukur. Laporan itu harus dilengkapi dengan peta. Tapi kalau luas kebun sawitnya itu milik korporasi, aturannya lain. Perusahaan akan dikenai denda. Dendanya bervariasi, antara Rp5 juta-Rp15 juta per hektar," rinci Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Riau ini kepada Gatra.com, Selasa (6/10).

Lantas jika kebun kelapa sawit itu berada di klaim kawasan hutan lindung dan konservasi, pemerintah akan memberikan toleransi selama satu daur.

"Setelah satu daur, lahan itu harus dikembalikan ke Negara," ujar lelaki asal Indragiri Hilir (Inhil) ini.

Nah, solusi bagi kebun perorangan yang tumpang tindih dengan konsesi atau Hak Guna Usaha (HGU) kata lelaki 40 tahun adalah luas HGU atau Konsesinya yang dikurangi, bukan petani kelapa sawitnya yang diusir.

Bagi Sekretaris bidang Pendidikan dan pesantren DPP PKB ini, keputusan yang dibikin pemerintah dalam UU tadi benar-benar telah menjadi solusi paling tepat.

"Sebab enggak mungkin kelapa sawit itu ditebangi, semuanya harus saling azas manfaat. Perkiraan kita, Negara akan mendapatkan duit sekitar Rp250 triliun dari hasil pembayaran denda itu dan yang paling penting lagi, semua pekebun mendapat kepastian hukum," katanya.

Selama ini kata Wahid, yang diuntungkan oleh klaim kawasan hutan itu justru hanya oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan sisi abu-abu ketidakpastian hukum tadi.

"Kenapa Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sawit, seperti Riau kecil dari sektor kebun kelapa sawit, ya karena klaim kawasan hutan tadilah. Tapi di sisi lain, sejumlah oknum yang kenyang," katanya.

Masih soal kelapa sawit tadi, Wahid menyebut bahwa perusahaan yang lahannya didapat dari pemerintah (HGU), wajib membikin kebun pola kemitraan 20 persen. Tapi kalau lahan itu beli sendiri dan kemudian diurus Izin Usaha Perkebunan (IUP)nya, kemitraan tetap harus ada, tapi lahan untuk kemitraan itu bersumber dari lahan masyarakat yang akan menjadi mitra.

Wahid juga menyinggung soal kemudahan lain setelah UU Cipta Kerja itu ada. "UU ini jadi semacam karpet merah, penuh dengan kepastian hukum bagi investasi. Mudah-mudahan dengan adanya UU ini, investasi yang masuk ke Indonesia akan melonjak," Wakil Ketua PWNU Riau ini berharap.

Sebab itu tadi, urus izin enggak perlu lagi pakai ketemu orang. "Aturan semacam ini tentu akan membikin birokrasi yang koruptif akan terganggu zona nyamannya," Wahid tertawa.

Selama ini kata Wahid, investasi tidak tumbuh lantaran ketidakpastian hukum, khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan. Regulasi tumpang tindih.

Keadaan semacam ini jugalah kata Wahid yang membikin angkatan kerja di Indonesia menjadi tinggi, banyak yang akhirnya cari kerja di luar Negeri. "Tapi Insya Allah dengan adanya UU ini, investasi semakin tumbuh dan tenaga kerja terserap," dia mengulangi harapan itu.

Ketua Umum Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung menyebut, apa yang telah dilakukan Presiden Jokowi atas UU Cipta Kerja itu adalah hal yang luar biasa dan tegas.

"UU Cipta Kerja itu sudah benar-benar pro rakyat. Saya sampai enggak tidur satu minggu ini demi membaca ulang UU itu. Kalaupun ada yang kontra, saya pikir itu hal biasa," katanya.

Kalaupun kemudian ada yang mau protes, ayah dua anak ini berharap, ada baiknya dibaca dulu dengan benar isi UU itu.

"Bagi kawan-kawan yang mengerti hukum ada baiknya memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat, jangan hanya mendengar kiri-kanan lalu bikin statement," pintanya.

Terkait sawit petani dalam Kawasan hutan yang sudah diakomodir dalam UU Cipta Kerja itu kata Gulat, Apkasindo akan segera membuat pengumuman kepada seluruh Petani Sawit di 22 Dewan Pimpinan Wilayah di 22 Provinsi untuk segera mendirikan Posko Inventarisasi Lahan Petani dalam Kawasan Hutan.

"Lahan itu musti dipetakan oleh Lembaga Konsultan yang berlisensi ahli. Selanjutnya DPP Apkasindo akan membikin clusternya dan mengajukan secara resmi ke Menteri terkait. Proses pengajuan ini tidak dipungut biaya sepeserpun, kecuali untuk jasa konsultan pengukuran dan pemetaan. Sebab tenaga ahli pemetaan musti dibayar, enggak mungkin mereka bekerja gratis kan?" kata Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.

Kepada pihak-pihak yang memperkarakan petani sawit dengan tuduhan berkebun kelapa sawit di dalam Kawasan hutan, tumpang tindih dengan konsesi atau HGU, lalu membikin dalil melanggar UU Kehutanan dan UU Perkebunan, Gulat minta supaya cara-cara itu dihentikan dulu.

"Ini demi UU Cipta Kerja yang baru disahkan. Semua harus menahan diri, sudah terlalu lama kami petani sawit ini disiksa oleh berbagai modus, termasuk lah modus memperkarakan itu," kata Ketua DPD Bravo 5 Riau ini.

Wahid juga berpesan yang sama. "Bahwa Negeri ini butuh aturan yang berpihak pada rakyat dan tegas, pemerintahan yang ada saat ini sudah melakukan itu. Saya yakin, tidak semua kepentingan orang bisa diakomodir di sana. Hanya saja, hal-hal prinsip bagi rakyat, sudah sangat ditegaskan di situ. Mari kita kawal perjalanan UU itu demi keadilan, kepastian hukum, kemakmuran rakyat, kemajuan Bangsa dan Negara ini," pinta anggota Komisi VII DPR RI ini.


Abdul Aziz

63175