Home Hukum FH UGM: Omnibus Law Bahayakan Pekerja dan Lingkungan

FH UGM: Omnibus Law Bahayakan Pekerja dan Lingkungan

Yogyakarta, Gatra.com - Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law dinilai mengeksploitasi sekaligus membahayakan bagi tenaga kerja dan lingkungan. Pesangon untuk pekerja ter-PHK diatur dalam batas maksimal, sementara tanggung jawab pelaku usaha ke lingkungan diperkecil.

Hal ini diungkapkan sejumlah pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada saat menggelar pernyataan sikap secara daring, Selasa (6/10), menyikapi pengesahan RUU Cipta Kerja.

Dosen hukum ketenagakerjaan FH UGM Nabila Risfa Izzati menyatakan banyak ketentuan ambigu soal tenaga kerja di UU Cipta Kerja yang butuh pengaturan lebih lanjut. “Ini bertentangan dengan semangat pengusungan Omnibus Law yang melakukan simplifiasi peraturan ketenagakerjaan,” ujar Nabila.

Menurutnya, kajian atas UU ini pun susah dilakukan mengingat draf final UU tak terpublikasi. “Yang muncul kebingungan atas kebijakan ketenagakerjaan. Banyak poin tidak diatur secara clear dan dilempar ke pengaturan lebih lanjut,” kata dia.

Nabila menyebut, salah satu aturan yang sangat berbahaya bagi pekerja adalah soal pesangon. Ketentuan di pasal 156 UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan pun diubah.

UU tersebut mengatur pesangon untuk pekerja yang di-PHK akan didapat dari jumlah minimal, tapi UU Cipta Kerja menentukan jumlah pesangon maksimal melalui frasa ‘paling banyak’.

“Frasa ini aneh sekali karena aturan ini dibuat sebagai perlindungan minimum. Kalau maksimal, ini membuka kemungkinan pengusaha yang mem-PHK untuk memberi pesangon jauh di bawah ketentuan,” tuturnya.

Menurutnya, ihwal pesangon hanya salah satu contoh kekeliruan Omnibus Law. Contoh lain, batas waktu kerja kontrak tidak diatur secara jelas tapi kembali ke kesepakatan. “UU dibuat tergesa-gesa. Jika dibiarkan, ini akan merugikan pihak pekerja,” ujarnya.

Dosen Hukum Lingkungan UGM Totok Dwi Diantoro menyebut spirit UU ini berorientasi utama mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. “Ini bisa ditunjukkan dengan berbagai reduksi di UU ini terutama dalam instrumen perencanaan usaha dan perizinan lingkungan,” ujarnya.

Menurutnya, UU ini mengecilkan prinsip kehati-hatian dalam hukum lingkungan. “Konsep izin lingkungan diganti persetujuan lingkungan. Padahal perizinan lingkungan satu tahapan dalam pengambilan keputusan untuk izin suatu usaha,” tuturnya.

Selain itu, kata Totok, partisipasi publik direduksi. Masyarakat diperkecil maknanya dalam konsultasi publik mengenai amdal yakni hanya warga yang terdampak langsung. “Posisi perguruan tinggi tidak lagi dihitung sebagai kontrol publik dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.

Menurutnya, kelembagaan berupa komisi amdal tidak akan ada lagi. “Ini semua akan dimonopoli pusat. Ini akan menjadi cek kosong,” ucapnya.

Totok menyebut, mekasnime gugatan administrasi juga dihilangkan. Konsep tanggungjawab mutlak pelaku usaha, seperti saat ada bahan berbahaya dan timbul korban jiwa, direduksi, karena tak ada unsur pembuktian kesalahan.

1132