Home Politik Gubernur Riau Belum Sikapi Aspirasi Tolak UU Cipta Kerja

Gubernur Riau Belum Sikapi Aspirasi Tolak UU Cipta Kerja

Pekanbaru, Gatra.com - Gubernur Riau, Syamsuar, belum menyatakan sikap terkait aksi unjuk rasa mahasiswa mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja, Kamis (8/10). 

Hal itu terlihat dari belum adanya respons Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Riau, Chairul Riski, terkait sikap resmi Pemerintah Provinsi Riau atas regulasi tersebut. 

Diketahui, sejumlah gubernur di Indonesia berjanji akan menyurati Presiden Jokowi dan meminta presiden menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) UU Cipta Kerja. Beberapa gubernur tersebut di antaranya, Sultan Hamengkubuwono (Gubernur Yogyakarta), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), dan Rudy Resnawan (Plt Gubernur Kalimantan Selatan). 

Adapun aksi unjuk rasa mahasiswa dan buruh dipusatkan di Gedung DPRD Riau, Jalan Jenderal Sudirman, Kota Pekanbaru. Dalam orasinya mahasiswa mengendus adanya sejumlah keganjilan pada undang-undang yang disahkan Senin (5/10). Masa yang tergabung dalam koalisi rakyat Riau itu pun meminta parlemen Riau berani menyampaikan penolakan atas nama Riau terhadap undang-undang tersebut. 

Ditempat yang sama, pimpinan DPRD Hardianto mengatakan pihaknya menerima aspirasi mahasiswa. "Kami menerima aspirasi ini, dan mengkajinya sesuai mekanisme DPRD. Ini menjadi catatan kami," ujarnya. 

Aksi demo sempat ricuh, setelah mahasiswa melemparkan sejumlah benda ke dalam gedung wakil rakyat yang dikawal polisi. Polisi pun kemudian membalas dengan sejumlah letupan gas air mata, satu di antaranya dilemparkan kembali oleh para pendemo ke polisi. 

Riau sendiri diprediksi bakal menjadi wilayah yang sibuk pascaditetapkannya UU Cipta Kerja. Sebab, regulasi yang dituding mengancam lingkungan hidup itu, mempermudah aksi korporasi. 

Sementara itu, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyebut ada 6 persoalan yang ditimbulkan UU Cipta Kerja di Riau. Pertama, menguntungkan korporasi dan membakar hutan dan lahan seluas-luasnya. Kedua, makin garang mengkriminalisasi petani, masyarakat adat, dan pejuang lingkungan hidup.

Ketiga, menjadi jalan tol mempercepat penebangan hutan alam, merusak gambut, dan menggunduli hutan terpisah. Keempat, korporasi kebal hukum, hukuman bisa selesai hanya dengan membayar denda. Kelima, makin mudah menyuap pemerintah dan pemerintah makin mudah korupsi. Keenam, korporasi kian mudah merampok hutan dan lahan, tidak bayar pajak lalu uangnya disimpan di negara suaka pajak. 

228