Home Info Sawit Bom Waktu Sertifikasi ISPO

Bom Waktu Sertifikasi ISPO

Pekanbaru, Gatra.com - Di satu sisi, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) ini sangat senang dengan program pemerintah bernama Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Program yang dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ini sudah berjalan sejak 4 tahun silam.

Tapi di sisi lain, organisasi petani sawit terbesar di Indonesia ini sebenarnya khawatir dengan kondisi yang ada.

Soalnya, sudahlah realisasi PSR masih sangat minim, tenggat waktu yang dikasi pemerintah kepada petani untuk punya sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), sudah tergolong mepet. Tinggal 52 bulan lagi.

Kondisi ini menurut Apkasindo menjadi sinergi untuk "membonsai" petani yang mampu meraih ISPO. Sebab cuma kebun PSR lah yang berpotensi bisa memenuhi kriteria yang diinginkan oleh ISPO itu.

"ISPO ini kan terkait legalitas lahan. Lahannya enggak boleh berada dalam klaim kawasan hutan. Secara administrasi, mulai dari pekerjaan pembukaan lahan (P0), dokumentasi bibit, rekam jejak pupuk dan pemupukan, perawatan tanaman dan aspek agronomis lainnya, semuanya ada di sistem administrasi PSR itu. Kata kunci pada persyaratan ISPO ini adalah pencatatan semua aktifitas kebun," Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino mengurai soal ISPO itu saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin.

Saat ini kata Rino, luas kebun sawit rakyat sekitar 7 juta hektar. Dari luasan itu, sekitar 600 ribu hektar milik petani plasma. Ini berarti, ada sekitar 6,4 juta hektar lahan milik petani swadaya.

"Nah, pemerintah kan lagi membikin target nih, bahwa hingga 2023, musti ada 500 ribu hektar kebun yang menjalani PSR. Kalau kita misalkan dari target tadi, yang menyasar kebun swadaya hanya 300 ribu hektar, terus, nasib kebun petani swadaya yang 6,1 juta hektar lagi gimana dong?" ayah 4 anak ini bertanya.

Lelaki 39 tahun ini kemudian menyebut bahwa ada sederet musabab yang membikin kebun petani swadaya tidak ikut PSR.

Mulai dari kebun yang masih terjebak dalam klaim  kawasan hutan, takut akan kelaparan selama PSR, hingga kebun sawit masih produktif menjadi segelintir dari penyebab tadi.

Kebun non PSR ini akan menyisakan persoalan lantaran dipastikan akan kesulitan memenuhi persyaratan ISPO itu.

Kalau yang masih dalam klaim kawasan hutan kata Rino, sudah jelas akan mentok. Tapi gimana dengan kebun yang tanamannya masih berumur 15 tahun?

"Dimintalah misalnya sertifikat sumber bibit kebun itu. Jangankan sertifikat bibit yang dia dapat 15 tahun lalu, surat nikahnya saja bisa jadi sudah lupa disimpan dimana. Oleh persoalan-persoalan semacam inilah makanya sedari awal kami mengingatkan Tim Penyusun ISPO itu supaya realiatis berpikir, jangan malah mengkhayal," katanya.

Petani yang baru ikut PSR kata Rino, belum tentu akan aman-aman saja, potensi akan bermasalah tetap ada. Katakanlah mereka yang menjalani PSR 2020.

Petani yang begini, baru bisa mengurus sertifikat ISPO setelah tanaman sawitnya masuk pada Tanaman Menghasilkan tahun pertama (TM1).

"Artinya, kalau tahap P0 (persiapan lahan) PSR dilakukan tahun 2020, maka proses audit untuk mendapatkan sertifikat ISPO baru bisa dilakukan tahun 2023. Estafetnya panjang!" Rino mengingatkan.

Dalam estafet yang panjang itu kata Rino, musti didukung oleh sederet instrumen yang dibutuhkan untuk sertifikasi ISPO. Misalnya tenaga penyuluh di dinas-dinas perkebunan dan tenaga pendamping.

"Idealnya porsi tenaga penyuluh itu kan 1:100. Artinya, 1 orang penyuluh untuk mengurusi 100 orang petani. Tahu enggak porsi yang ada sekarang, 1 penyuluh mengurusi 10 ribu orang petani," Rino tertawa.

Lagi-lagi kata Rino, Apkasindo mendukung Perpres ISPO untuk petani Apkasindo yang memang sudah memenuhi syarat untuk itu.

"Tapi jumlahnya kan sangat minim, tadi sudah kita hitung, paling tinggi hanya 7,8% Petani yang mampu mendapatkan sertifikat ISPO itu, lantas yang 92,2% ini mau dikemanakan?" lagi-lagi Rino bertanya. 

Lantaran itu, ada baiknya kata Rino, semua tetek bengek tadi dibenahi segera. Mulai dari regulasi hingga SDM untuk itu.

"Kasar bahasanya ini, dinas dan stakeholder yang mengurusi kebun sawit ini yang sebenarnya lebih dulu di-ISPO-kan, baru petaninya. Ini, dinasnya saja masih kayak begitu. Sudahlah jumlah SDMnya sangat terbatas, yang punya sertifikat auditor ISPO juga belum tentu ada. Gimana pula petani bisa segera paham soal ISPO kalau penyuluhnya enggak rajin turun ke kebun petani dan enggak paham apa itu ISPO?" sindir Auditor ISPO ini.

Kalau soal persyaratan untuk ikut PSR yang  dibikin Dirjenbun dan BPDPKS kata Rino, boleh dibilang enggak ada masalah lagi. Aturan main yang ada sekarang, sudah sangat menolong petani. Sebab yang dibutuhkan cuma legalitas, kelompok dan identitas petani.

"Tapi ingat, yang selamat masuk ke mulut ISPO tadi cuma yang ikut PSR. Yang 6,1 juta hektar lagi (97,2%) akan jadi korban ISPO. Setelah Maret 2025 --- ISPO wajib bagi petani swadaya --- siapa yang bertanggungjawab dengan nasib petani ini? Mungkin yang merancang ISPO tadi sudah pada pensiun di tahun itu, atau malah sudah beralih pula jadi suporting NGO-NGO yang doyan merecoki sawit," katanya.


Abdul Aziz

672