Home Gaya Hidup Cegah Intoleransi, PGRI, Kemdikbud dan Kemenag, Sensor Buku

Cegah Intoleransi, PGRI, Kemdikbud dan Kemenag, Sensor Buku

Jakarta, Gatra.com - Intoleransi merupakan salah satu isu yang muncul di tengah keberagaman Indonesia. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang bisa bersikap intoleran, termasuk lembaga pendidikan.

 

Wakil Sekretaris Jenderal Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jejen Musfah mengakui bahwa intoleransi memang ada di lembaga pendidikan. Tak hanya di sekolah, intoleransi juga kerap dirasakan hingga di level perguruan tinggi.

"Berbagai riset menunjukan bahwa radikalisasi atau intoleran itu memang ada, merupakan fakta di sekolah dan perguruan tinggi," ungkap Jejen dalam sebuah Diskusi bertema Pemuda, Intoleransi, dan Lembaga Pendidikan Kita, Sabtu (24/10).

Di lembaga pendidikan, sikap tidak bersedia menerima perbedaan itu muncul di kelompok siswa, internal guru, dan buku teks yang menjadi bahan pembelajaran.

Untuk mencegah munculnya materi belajar yang mengandung nilai intoleransi, PGRI bersama Kementerian Agama (Kemenag) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) membentuk tim sensor untuk menyeleksi mana saja materi yang layak diberikan kepada siswa. Namun masalahnya, tidak semua guru atau lembaga pendidikan menggunakan buku-buku yang sudah diseleksi tim tersebut.

"Tidak semua sekolah dan madrasah itu memakai buku-buku yang sudah terakreditasi atau sudah dilegitimasi oleh pusat kurikulum buku. Yang dalam hal ini prosesnya sebelum terbit telah melalui pembacaan dari para pakar," Jejen menjelaskan.

Menurut Jejen, kasus intoleransi di lembaga pendidikan secara kuantitatif masih tebilang sedikit, yaitu kurang dari 50%. Namun, kasus ini tidak bisa dianggap remeh karena akan memberikan dampak buruk bagi siswa.

Ketika siswa sudah memiliki pola pikir intoleran, semangat pendidikan kewarganegaraan, pendidikan pancasila, serta pendidikan agama akan sulit diterima. Padahal, kata Jejen, substansi lembaga pendidikan adalah melahirkan generasi-generasi berkarakter dan berakhlak mulia. "Karena pendidikan berkarakter itu hanya mungkin jika siswa memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama, suku, ras dan seterusnya," pungkasnya.

540