Home Hukum Langgar Hukum, Kasus Bansos Corona DIY Kelar Via Musyawarah

Langgar Hukum, Kasus Bansos Corona DIY Kelar Via Musyawarah

Yogyakarta, Gatra.com - Sejumlah pelanggaran penyaluran bantuan sosial Covid-19 ditemukan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kendati melanggar hukum, kasus-kasus itu diselesaikan secara musyawarah.

Hal ini sesuai temuan lembaga pemantau dana publik, IDEA Yogyakarta, dalam diskusi daring ‘Sengkarut Penyaluran Bansos Covid-19 di DIY’, Senin (26/10).

“Menurut data yang IDEA himpun dari aduan warga, penelusuran media dan dokumen dari Ombudsman, setidaknya ada 57 kasus yang berhubungan langsung dengan penyaluran program bansos,” ujar peneliti IDEA Ahmad Haedar.

Dari kasus-kasus itu, 45 bansos tidak tepat sasaran, pemotongan 4 kasus, sedangkan kasus lainnya berupa penggelapan, penyaluran ganda dan transparansi data.

Haedar menyebut, berdasarkan sebaran wilayahnya di DIY, 35 kasus ditemukan di Kabupaten Bantul, 4 kasus di Kota Yogyakarta, 7 kasus masing-masing di Sleman dan Gunungkidul, dan 1 kasus di Kulonprogo, dan 3 kasus di lingkup DIY.

Menurut Haedar, banyaknya kasus tidak tepat sasaran dalam penyaluran bansos Covid-19 dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu perbedaan metode pendataan, persoalan tata kala penyaluran, dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang tidak diperbarui secara berkala.

“Dari hasil penelusuran lapangan, DTKS yang dipakai pemerintah ternyata menggunakan data tahun 2015,” ujarnya.

Sejumlah kasus telah diadvokasi, seperti penggelapan dana program Keluarga Harapan (PKH) di Desa Trimurti Kecamatan Srandakan serta Kecamatan Jetis, Bantul.

“IDEA sudah melakukan klarifikasi dengan pemerintah Desa Trimurti, Polres Bantul dan Dinas Sosial Bantul bahwa petugas PKH telah melakukan penggelapan dana PKH,” kata Haedar.

Menurutnya, kepolisian dan Dinas Sosial Bantul telah menyatakan bahwa tindakan itu melanggar hukum. “Kasus ini diselesaikan secara musyawarah. Namun dari pihak yang berwenang tidak memberikan sanksi, baik pidana maupun sanksi administrasi, kepada pihak yang melakukan pelanggaran hukum,” katanya.

Belakangan, pelaku disebut dicopot dari posisinya sebagai petugas pendamping penerima bansos PKH.

Kasus pungutan liar dana bantuan langsung tunai (BLT) Dana Desa sebesar 50 persen di Desa Pundong, Kecamatan Srihardono, Bantul, juga selesai lewat musyawarah.

Pelanggaran itu dilakukan oleh perangkat desa setempat. “Akan tetapi, pihak desa tidak memberikan sanksi kepada pelaku yang melakukan pungutan liar,” kata Haedar.

Selain itu, ada sejumlah kasus inclusion error atau warga yang sebenarnya tak berhak justru menerima bansos. Seperti ditemukan di Bantul, penerima bansos adalah warga mampu seperti suami dari sekretaris desa dan pensiunan PNS.

IDEA merekomendasikan kepada sejumlahpihak untuk memberikan sanksi atas para pelaku pelanggaran. “IDEA juga melaporkan kasus-kasus ini ke Kementerian Desa, namun tidak mendapatkan respons,” katanya.

Pelanggaran penyaluran bansos terkait politisasi bahkan ditemukan di Sleman yakni oleh salah satu partai politik. Menurutnya, Bawaslu Sleman dan pihak Ombudsman yang dilapori soal ini meminta IDEA memberikan bukti materiil dan formil secara lengkap.

“IDEA sudah komunikasi langsung dengan pelapor dan klarifikasi dengan pihak desa, namun keduanya, karena alasan takut, tidak memberikan informasi partai yang terlibat dalam penyaluran dana Bansos Daerah,” kata Haedar.

Atas sejumlah pelanggaran ini, IDEA mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah transparan dan responsif terhadap laporan yang masuk.

“Pemerintah harus melakukan sinkronisasi data DTKS yang diperbarui antara pusat dan daerah. Pemerintah juga harus membuat aturan tentang tata kala atau waktu penyaluran antara jenis bantuan dengan jenis bantuan yang lain,” ujar Haedar

540