Home Internasional 'Asal Bukan Trump' Menguat, Trump Diprediksi Kalah

'Asal Bukan Trump' Menguat, Trump Diprediksi Kalah

Yogyakarta, Gatra.com - Donald Trump diperkirakan kalah di pemilihan presiden Amerika Serikat 2020. 'Asal bukan Trump' menguat dan ia harus meraih dukungan dari luar basis dukungannya.

Hal itu dikemukakan Jeffrey Winters, profesor ilmu politik Northwestern University, AS, dalam perbincangan daring dengan peneliti America Studies, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Achmad Munjid, Minggu (1/11). “Berbasis data, studi, dan statistik, dapat disimpulkan Donald Trump akan kalah di pemilu kali ini,” ujar dia.

Jeffrey menerangkan sistem pemilihan AS beserta dukungan tiap negara bagian. Ia membagi negara-negara bagian itu ke tujuh kategori. Masing-masing ada tiga kategori dengan tingkat berbeda untuk negara yang mendukung Partai Demokrat dan capresnya Joe Biden, serta negara-negara yang solid ke Partai Republik dan Trump.

Adapun di tengah terdapat kategori negara toss up yang memiliki kans yang sama untuk Trump atau Biden, yakni Florida, Georgia, North Carolina, Iowa, Ohio, Maine, dan Texas.

“Medan tempur sesugguhnya adalah di negara-negara toss up ini. Negara dengan kans dukungan fifty- fifty. Trump wajib menang di negara kategori toss up,” kata Jeffrey.

Namun, untuk jadi presiden lagi, Trump tak cukup memenangi tujuh negara itu. Kemenangan di negara bagian pendukung dan tujuh negara itu membuat Trump kasih kurang 22 dari 270 suara elektoral. ”Trump juga perlu menang di sedikitnya dua negara bagian yang condong ke Demokrat,” kata dia.

Negara-negara dengan dukungan tipis ke Demokrat itu antara lain Arizona, Michigan, Minnesota, Wisconsin, Pennsylvania, Nevada, dan New Hampshire.

Menurut Jeffery, Trump memang tak mustahil untuk meraih dukungan sesuai analisis itu. Apalagi banyak analis, termasuk Jeffrey, salah saat meramal Trump kalah dan Hillary Clinton menang di pilpres AS 2016.

“Tapi semua orang tak menduga Trump bakal menang waktu itu, termasuk dia sendiri sebagai pemenangnya,” kata Jefrrey.

Namun sejak itu para akademisi belajar dan yakin bahwa di pilpres kali ini Trump kalah. Jeffrey menguraikan sejumlah faktor, antara lain, survei pilpres AS 2016 tak memasukkan sejumlah kategori pemilih sehingga hasil poling pun tak akurat. “Di poling sekarang kesalahan-kesalahan itu telah dikoreksi,” kata dia.

Tahun ini, dari 240 juta orang pemilik hak suara, diperkirakan 150 juta orang bakal memilih. Jumlah ini setara dengan 62 persen tingkat partisipasi dan mayoritas telah menentukan pilihannya.

Selain itu, pada pilpres 2016, banyak pemilih yang belum menentukan pilihan hingga jelang hari pemilihan. Kondisi ini berbeda dengan pilpres 2020 ini. “Pada 2016, terjadi big swing, sehingga poling tidak tahu hasilnya ke mana dan itu menjadi faktor X,” kata dia.

Pada pilpres 2016, faktor kemenangan Trump juga disumbang oleh ‘kejutan Oktober’ saat tiba-tiba FBI menyelidiki kasus surat Hillary. “Ini jadi bom besar di menit-menit akhir. Hillary dilihat sebagai kriminal,” kata dia.

Menurut Jeffrey, Trump saat itu menang bukan karena semata-mata suka pada dirinya, melainkan juga karena kebencian pada Hillary. “Saat ini, Biden memang tidak membuat antusias, tapi susah juga buat membenci Biden,” tuturnya.

Jeffrey mengibaratkan pemilih AS seperti bakal memilih kursi atau meja karena tak ada antusiasme yang tinggi seperti pilpres 2016. namun dapat dipastikan bahwa fenomena ‘asal bukan Trump’ menguat.

Sejauh ini, Trump memiliki 44 persen pendukung setia. Namun jumlah itu tak cukup. “Trump tidak bisa menang degan dukungan dari basisnya saja, tapi juga harus menjangkau ke luar basis dukungannya,” kata dia.

1879