Home Hukum Kata Eddy Hiariej Soal Maraknya Warganet Dijerat UU ITE

Kata Eddy Hiariej Soal Maraknya Warganet Dijerat UU ITE

Yogyakarta, Gatra.com - Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transkasi Elektronik (UU ITE) telah menjerat banyak warganet. Namun UU itu disebut disusun dengan spirit melindungi martabat individu.

Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ‘Batasan Kebebasan Ekspresi dan Menyatakan Pendapat Ditinjau dari UU ITE’ yang disaksikan Gatra.com, Senin (2/11).

“UU ITE itu sebenarnya mengatur tentang kejahatan dunia maya, yakni internet berperan sebagai alat untuk melakukan kejahatan, atau sebagai tempat menyimpan data, atau sebagai sasaran kejahatan,” tutur Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Hiariej.

Namun, kata dia, selama ini perdebatan berfokus hanya pada peran internet alat melakukan kejahatan seperti diatur di pasal 27-28 UU ITE yakni soal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Sementara perannya mengatur internet sebagai tempat penyimpan data dan sasaran kejahatan kerap tak jadi sorotan.

Apalagi penegak hukum jarang menelisik risalah pembentukan UU tersebut. “Padahal risalah itu salah satu metode penemuan hukum dengan interpretasi historis,” kata Eddy yang terlibat dalam penyusunan UU ITE.

Selain itu, Eddy menjelaskan, ihwal pencemaran dan ujaran kebencian seperti muatan pasal 27-28 UU ITE harus merujuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

“Karena kejahatan dunia maya dan duia nyata itu unsurnya sama. Bedanya modus operandi dan media. Jadi unsur-unsur deliknya kembali ke KUHP,” kata dia.

Ia mencontohkan, kasus pencemaran nama baik tak diatur jadi delik aduan di UU ITE. Namun karena merujuk KUHP dan hal itu jadi delik aduan, maka kasus itu di dunia maya jadi delik aduan.

“Maka untuk mengatakan UU ITE lex specialis, itu jadi perdebatan. Sebab sepanjang ada dalam KUHP, itu sama. Medianya saja yang berbeda,” tuturnya.

Hanya saja, kata Eddy, UU ITE lebih mudah dalam memenuhi unsur pembuktian penyebarluasan. Unsur ini jadi satu delik, selain delik subjektif dan delik aduan pada kasus pencemaran nama baik.

“Dengan media sosial, delik penyebaran jadi jauh lebih mudah dibuktikan. Tak heran, dengan UU ITE ini saling lapor dan menuntut karena lebih mudah dibuktikan dibanding dulu,” katanya.

Eddy mengingatkan, filosofi hukum pidana bertujuan melindungi negara, masyarakat, dan individu. Perlindungan atas martabat individu melahirkan pidana soal pencemaran nama baik.

Selain itu, Eddy bilang, kebebasan berekspresi memiliki batas-batas. Kebebasan berekspresi juga tak bisa tak bisa dipadankan antar-negara. Menurutnya, ada tiga materi pidana yang diatur berbeda di tiap negara, yakni delik politik, kejahatan kesusilaan, dan pencemaran nama baik.

Ia mencontohkan, saat kontra kebijakan invasi Irak, demonstran Australia protes dengan membawa anjing yang dipasangi topeng Perdana Menteri Australia kala itu, John Howard. ”Kalau di Indonesia, itu bisa terjadi gesekan luar biasa. Di Australia, itu dianggap biasa,” kata Eddy.

Sebelumnya peneliti Center for Digital Society Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Trevilia Eka Putri memaparkan data lembaga Safenet bahwa terdapat 324 kasus terkait UU ITE.

Ia merinci, ada 209 kasus berkaitan dengan pasal 27 ayat 3 soal pencamaran nama baik, 76 kasus dengan pasal 28 ayat 2 soal kebencian, dan 172 kasus terjadi Facebook.

Menurutnya, jeratan UU ITE tak lepas dari kondisi asimetri kuasa di dunia maya. “Sebagai pengguna, relasi kita dengan penyedia platform yang beroperasi secara global dan memiliki konten kita tidak setara,” kata dia.

Trevi menyebut UU ITE kemudian malah memakan banyak korban. “Pelapornya punya kuasa seperti pejabat negara dengan korban yang powerless.Orang bisa dipenjara padahal sebenarnya dia mengkritik saja,” kata dia.

2013