Home Politik Depolitisasi Menguat, Omnibus Law Bisa Jadi Titik Balik

Depolitisasi Menguat, Omnibus Law Bisa Jadi Titik Balik

Yogyakarta, Gatra.com - Omnibus Law UU Cipta Kerja menjadi salah satu contoh terbaru terjadinya depolitisasi proses politik Indonesia. Depolitisasi ditandai pergeseran tanggung jawab dan diabaikannya alternatif solusi.

Hal ini dipaparkan pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) Hasrul Hanif dalam diskusi daring ‘Depolitisasi Politik Indoneia: Burukkah bagi Indonesia?’, gelaran komunitas Publik Baru, Senin (2/11) malam.

Hanif menjelaskan, depolitisasi selama ini dicontohkan dengan munculnya lembaga-lembaga kuasi pemerintah, para pemimpin populis yang memotong proses politik tradisional, hingga menguatnya peran teknokrat dalam pengambilan kebijakan politik.

“Ternyata istilah ini tidak pernah tunggal. Kajian depolitisasi selama ini mencampurkan istilah itu sebagai gejala, sebab, dan efeknya,” kata kndidat doktor di University of Sheffield, Inggris.

Dalam aktivitas sehari-hari, depolitisasi muncul dalam sikap antipolitik, emoh membicarakan politik, pernyataan untuk tidak mempolitisir suatu hal, hingga survei publik yang menunjukkan politisi jadi ranking terendah.

“Pengertiannya sederhananya, depolitisasi adalah pergeseran tanggung jawab atau akuntabilitas dari institusi politik ke lembaga non-politik. Politisi dan institusi pemerintah pun tidak jadi sasaran tembak. Ini cara menggeser tanggung jawab dan blamming (menyalahkan pihak lain),” tuturnya.

Depolitisasi juga ditunjukkan saat peran teknokrat dalam pengambilan keputusan menguat, terutama dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.

“Soal Freeport diserahkan ekonom, sementara mereka yg terdampak tak pernah bersuara dan ketika muncul (suara penolakan) dianggap bermasalah,” kata Hanif.

Selain itu, masalah eksploitasi lingkungan sebelumnya diurus negara melalui regulasi. Namun kemudian tanggung jawab negara dan isu publik digeser melalui skema tanggung jawab sosial atau CSR.

Munculnya Omnibus Law menjadi contoh terbaru praktik depolitisasi. “Omnibus Law untuk mendatangkan investasi seolah-olah tak boleh ada pilihan lain. Kalau mau kaya, ya keruk sumber daya alam. Ini seolah-olah satu-satunya cara dan mengabaikan pilihan lain,” tuturnya.

Suara penolakan pun ditampik. “Perdebatan digeser seolah-olah mahasiswa tak membaca UU itu dan memahaminya. Tawaran alternatif atas Omnibus Law dianggap absurd, tak jelas, dan menunjukkan ketidakmampuan penolaknya,” katanya.

Namun Hanif menengarai tak semua depolitisasi berujung pada suatu antipolitik. Ia mencontohkan pemerintahan sejumlah negara Amerika Latin yang mengelola sumber daya alam secara neoliberal.

“Tapi kemudian muncul strategi repolitisasi dari kelompok yang selama ini apolitik. Depolitisasi justru timbulkan arus balik repolitisasi, katanya.

Gelombang omnibus Law belakangan ini juga menunjukkan arus balik depolitisasi itu. Masalahnya, tak selalu ada momen politik seperti masa-masa penolakan Omnibus Law yang ditandai aksi massa.

Ketua Badan Pengurus Publik Baru Arif Aris Mundayat menyatakan relasi antara negara dan warga memang bergeser. "Hubungan antara warga dan negara digeser jadi hubungan antara warga dan pasar. Di situ ada juga (proses) politik, tapi terjadi depolitisasi. Dari citizen menjadi marketizen," kata dia.

Tak berhenti di situ, tahap selanjutnya menggeser relasi warga dengan individu. Setiap individu harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Dalam konteks pandemi Covid-19, ini yang terjadi,” tutur pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.

783