Home Ekonomi Geliat M2U di Tengah Pandemi

Geliat M2U di Tengah Pandemi

Jakarta, Gatra.com – Sepulang kerja, Afifah (27) kini semakin asyik dengan gawainya. Pantau market place pun menjadi lebih rutin. Semenjak pagebluk Covid-19 melanda, karyawan swasta beranak satu ini semakin kencang melakukan aktivitas ekonomi dengan transaksi digital. Tentunya, membawa dampak besar bagi perubahan perilaku Afifah. Ia menjadi enggan belanja tatap muka. Semua dilakukan melalui dalam jaringan (daring).

 

Mulai dari belanja kebutuhan pokok, pesan makanan, belanja baju, membeli susu anak dan transaksi online lainya semua cukup hanya dalam genggaman; telepon pintarnya. “Sekarang saya jadi takut belanja di luar, jadi lebih banyak dari rumah saja,” katanya kepada Gatra.com, Selasa (17/11).

 

Ia mengakui biasa belanja online memang sejak tiga tahun lalu. Namun, semenjak pandemi hingga saat ini, intensitasnya semakin tinggi dengan transaksi online dibandingkan offline. “Selain lebih aman, kita lebih mudah juga, hemat waktu dan bisa order dari mana saja,” ucapnya.

 

Memang semenjak Covid-19 melanda, masyarakat cenderung tinggi menggunakan transaksi digital. Dalam data Bank Indonesia (BI), tercatat sejak Januari hingga Juli 2020 transaksi uang elektronik mengalami pertumbuhan 15% atau 359,6 juta transaksi. Bahkan, penggunaan transaksi keuangan digital juga menyebabkan porsi transaksi e-wallet dalam e-commerce di Indonesia berhasil naik menjadi 17%.

 

Merujuk data Wearesocial, Juli 2020, torehan angka tersebut bahkan lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan, Singapura, dan Kanada. Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo juga mengakui, digital banking semakin diminati masyarakat. Hal ini terlihat dari data volume transaksi digital banking yang naik signifikan sebesar 37,8% year on year (yoy). Kemudian, untuk transaksi uang elektronik pun menguat 24,42% yoy. Sedangkan penggunaan kartu debit malah jeblok 18,9% yoy.

 

Wajar saja jika populasi Indonesia dengan 267 juta penduduk dan dengan jumlah pengguna mobile internet yang sangat tinggi ini memiliki potensi besar dalam mengarungi era ekonomi dan keuangan digital. Apalagi dengan adanya pandemi telah mendorong akselerasi lebih cepat dalam aktivitas ekonomi dengan transaksi digital.

 

Tentu hal itu juga mendongkrak peningkatan akseptasi dan utilisasi pembayaran digital (digital payment), di mana platform mobile banking M2U termasuk salah satu diantaranya. Menurut Head, Corporate & Brand Communication Maybank Indonesia, Esti Nugraheni peluncuran dan inovasi yang berkelanjutan dari M2U adalah bentuk pengejawantahan brand promise Maybank- Humanising Financial Service.

 

“Yaitu untuk menghadirkan solusi yang dapat menjawab kebutuhan finansial konsumen, dalam fase kehidupannya, baik anak muda, professional, keluarga muda, business man/woman, paruh baya atau di usia matang/golden age, aplikasi M2U hadir untuk mengisi dan memenuhi kehidupan finansial mereka,” kata Esti.

 

Apalagi, aplikasi M2U bukan sekadar platform untuk melakukan transaksi keuangan tetapi lebih dari itu. “Sebab juga dapat dimanfaatkan untuk mengelola portofolio keuangan, menjadi solusi pembayaran yang dapat dilakukan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, menjadi platform untuk menabung dan investasi serta lifestyle,” terangnya.

 

Head Strategy, Transformation & Digital Office Maybank Indonesia Michel Hamilton menuturkan Indonesia menempati urutan nomor dua dengan antusiasme masyarakat yang telah mengadopsi digital banking. Kini masyarakat Indonesia semakin banyak yang melakukan transaksi digital dari rumah.

 

Sebagai catatan, di tengah pandemi ini bahkan penggunaan layanan M2U meningkat drastis. Karena itu membuat pihaknya untuk terus melakukan inovasi lima kali lebih cepat dari yang sebelumnya. Transaksi keuangan yang dilakukan melalui M2U tumbuh pesat sebesar 136% menjadi 4,5 juta transaksi pada semester I/2020. Kemudian, ada sekitar 34.000 pembukaan rekening tabungan atau deposito dan lebih dari 45.000 rekening baru dibuka melalui M2U.

 

Persoalan keuangan digital juga ternyata menjadi konsen Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam sambutannya di Indonesia Fintech Summit 2020 yang berlangsung pada 11-12 November silam. Dalam pidatonya, Jokowi menyampaikan apresiasi kepada para inovator dan penggerak industri fintech yang mampu memberi kontribusi positif bagi perekonomian melalui akses pembiayaan serta pemberian layanan keuangan digital lainnya kepada masyarakat.

 

"Fintech telah memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional dan menambah akses masyarakat terhadap pembiayaan,” katanya.

 

Namun, ia mengakui masih ada pekerjaan rumah yang besar karena indeks inklusi keuangan Indonesia masih tertinggal dibandingkan beberapa negara lain. Harapan Jokowi, para inovator fintech tidak hanya berperan sebagai penyalur pinjaman dan pembayaran online, tetapi sebagai penggerak utama literasi keuangan digital bagi masyarakat.

 

Selain itu, fintech juga diharapkan dapat mendampingi perencanaan keuangan serta memperluas UMKM dalam hal akses pemasaran e-commerce. “Para pelaku industri fintech perlu memperkuat tata kelola yang lebih baik serta memitigasi berbagai potensi risiko yang ada," ucap Jokowi.

 

Sebelumnya, Koordinator Pemberdayaan Kapasitas TIK Kemkominfo, Aris Kurniawan menuturkan bahwa Indonesia memiliki visi pada tahun 2025 menjadi negara terbesar di Asia Tenggara dengan nilai transaksi ekonomi digital mencapai US$130 miliar.

 

Namun untuk mencapai hal tersebut ada banyak hal yang perlu dihadapi, seperti diantaranya terkait penetrasi internet Indonesia baru mencapai 64% yang masih tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura 88%, Malaysia 83%, Thailand 75%, dan Vietnam 70%.

 

Kemudian, terkait rata-rata kecepatan internet mobile Indonesia mencapai 13,83 mbps, masih tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia sudah 23,8 mbps, Thailand 25,9 mbps, serta Vietnam 30,39 mbps, dan Singapura 57,16 mbps. “Ditambah lagi, belum semua wilayah di Indonesia memiliki kualitas internet yang memadai,” katanya.

 

Belum lagi masih adanya persoalan lemahnya cyber security dan keamanan data diri konsumen. Lalu masalah lainnya adalah, kurangnya talenta digital yang sesuai dengan kebutuhan industri dan hingga kini tercatat baru ada 9,4 juta UMKM yang sudah go digital dari total 60 juta yang terdata.

 

Menghadapi masalah-masalah tersebut Indonesia tentunya perlu melakukan berbagai hal. Diantaranya, “Mengenai masalah infrastruktur Kementerian Kominfo hingga 2022 memiliki target untuk menyediakan akses internet yang memadai di seluruh desa yang ada di Indonesia,” katanya Aris.

 

269