Home Politik APHA Beri Masukan dan Saran kepada Baleg soal RUU MHA

APHA Beri Masukan dan Saran kepada Baleg soal RUU MHA

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia memberikan masukan dan saran kepada Baleg DPR melalui Wakil Ketuanya, Willy Aditya, tentang berbagai hal mengenai RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang saat ini masih berada di DPR.

Ketua Umum APHA Indonesia, Dr. Laksanto Utomo, S.H., M.H., dalam pertemuan di ruang rapat Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem), Kompeks DPR, Jakarta, Kamis (19/11), menyampaikan, selain memberikan masukan dan saran, pihaknya juga mendorong agar DPR segera memproses RUU Masyarakat Hukum Adat.

Sementara itu, Sekjen APHA Indonesia, Dr. Kunthi Tridewiyanti, menyampaikan secara detail masukan dan saran APHA, di antaranya judul RUU, definisi masyarakat adat, penambahan asas, tentang pengakuan, hak dan kewajiban, penyelesaian sengketa, dan sanksi.

"Poin-poin ini dipandang sangat substantif dalam rangka penyempurnaan substansi RUU Masyarakat Hukum Adat," ungkapkanya dalam pertemuan tersebut.

Kunthi juga sempat menyampaikan soal pentingnya pengakuan atas ketentuan pembagian waris dalam masyarakat adat. Menurutnya, ini bukan hanya untuk menjaga perkawinan, waris, dan masyarakat adat. "Tetapi juga aset komunal," ujarnya.

Pengurus APHA lainnya, yakni Dr. Rina Yulianti, S.H., M.H., juga selaku Sekretaris Bidang Litbang/Dosen Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura Jawa Timur, menyampaikan soal pentingnya kesetaraan gender dalam RUU Masyarakat Hukum Adat.

"Yang ingin ditambahkan adanya penekanan terhadap kesetaraan dan keadiln gender karena di lapangan banyak ketimpangan terhadap perempuan adat," ungkapnya.

Pengurus APHA Indonesia lainnya, yakni Dr. Marthin, S.H., M.H., yang juga selaku Bidang Litbang/Dosen Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan Kalimantan Utara, mengatakan, RUU Masyarakat Hukum Adat ini untuk melindungi masyarakat, khususnya masyarakat adat dan investasi.

Laksanto menyatakan, APHA Indonesia berkomitmen untuk terus mengawal proses pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat di Baleg DPR RI agar substansinya sesuai dengan kebutuhan dan memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak yang mereka miliki.

Pasalnya, lanjut Laksanto, selama ini keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak yang mereka miliki kurang mendapatkan perhatian dari Negara, bahkan rentan diperlakukan sewenang-wenang. Padahal masyarakat hukum adat itu sudah ada sejak sebelum NKRI berdiri.

Menurutnya, oleh sebab itu, eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya itu wajib dilindungi oleh negara, sebab masyarakat adat merupakan bagian yang terpisahkan dari bangsa Indonesia.

Jajaran pengurus APHA Indonesia usai audiensi dengan Wakil Ketua Baleg DPR, Willy Aditya, mengenai RUU Masyarakat Hukum Adat. (GATRA/Iwan Sutiawan)

Pascaamandemen UUD 1945, pengakuan terhadap eksistensi hukum adat dimuat dalam Pasal 18B UUD 1945. Namun dalam realitasnya, amanat Konstitusi dan berbagai norma hukum yang berkaitan dengan pengakuan atas hukum adat itu belum terimplementasi secara maksimal bahkan terabaikan dalam pembangunan hukum nasional.

Pembangunan hukum nasional yang cenderung berkiblat pada hukum barat yang berorientasi pada kodifikasi dan unifikasi hukum membuat hukum adat makin termarginalkan dan tergerus oleh bangsa-nya sendiri untuk dan atas nama perkembangan masyarakat, budaya, dan hukum.

Faktanya, kata Laksanto, dalam beberapa putusan pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat tidak jarang hakim kurang menggali nilai-nilai hukum adat yang hidup dalam masyarakat yang berperkara, sehingga putusannya dinilai tidak adil oleh masyarakat hukum adat.

Menurut dia, ini adalah sebuah ironi kebangsaan, sebab hukum adat itu mencerminkan jiwa bangsa dan budaya hukum bangsa Indonesia. Menghilangkan eksistensi hukum adat berarti menghilangkan eksistensi jati diri dan jiwa bangsa.

Agaknya politik hukum dan paradigma pembangunan hukum nasional kita perlu direkonstruksi, agar pembangunan hukum nasional betul-betul mengutamakan penggalian dan pencarian nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Substansi sebuah RUU Masyarakat Hukum Adat wajib bersumber dari nilai-nilai dan hukum yang hidup dalam bangsa sendiri, dan bukan mengimpor nilai-nilai dan norma hukum asing yang berkarakteristik individualistik-kapitalistik.

Menurut Laksanto, nampaknya, ada kesesatan pikir kita semua akibat terlalu mengagungkan hukum barat yang jelas berkarakteristik individual kapitalistik yang jelas-jelas tidak sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia.

Mengembalikan ruh pembangunan hukum nasional agar sesuai dengan tatanan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah sebuah keniscayaan.

Masyarakat Indonesia silakan saja terus maju dan berubah, tetapi jangan pernah kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa yang komunal dan religius. Menjadikan hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai salah satu pondasi pembangunan hukum nasional urgen untuk dilakukan, agar produk hukum nasional efektif dan sesuai kebutuhan masyarakat.

Perwakilan APHA Indonesia yang turut hadir dalam kegiatan pertemuan audiensi tersebut di antaranya Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.H., selaku Dewan Pembina APHA dan Direktur Eksekutif APHA Hermansyah.

246