Home Politik Dampak Kemenangan Biden Terhadap Indonesia

Dampak Kemenangan Biden Terhadap Indonesia

Biden Menang, Ekonomi Indonesia Membaik?

Oleh: Wibisono*

 

Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pemilu AS) sudah berakhir, calon dari Partai Demokrat, Joe Biden, sudah menang atas pesaingnya, Donald Trump, berdasarkan suara elektoral yang diperoleh. Biden tercatat sudah mengantongi 273 suara elektoral atau telah lebih dari syarat minimal sebesar 270 suara untuk memenangi kontestasi.

Lantas bagaimana dampaknya terhadap ekonomi Indonesia jika Biden yang berhasil menjadi orang nomor 1 Gedung Putih? Terkini, pergerakan rupiah sudah menyentuh angka Rp13.500 per dolar AS. Berdasarkan data Bloomberg pada awal pekan lalu (6/11), rupiah ditutup Rp14.200 per dolar AS, menguat 170,0 poin atau 1,18 persen dari pembukaan. Kurs Jisdor juga menguat ke level Rp14.321 dari hari sebelumnya Rp14.439 per dolar AS.

Biden di dalam kampanyenya cukup berseberangan dengan Trump dalam hal kebijakan ekonomi, perdagangan internasional, politik luar negeri, serta kebijakan di pasar tenaga kerja. Di dalam hal ekonomi, Biden akan cenderung menaikkan berbagai macam pajak seperti pajak korporasi, pajak pendapatan, serta pajak capital gain di saat Trump berjanji akan kembali memangkas pajak pendapatan di AS setelah pemotongan pajak korporasi di periode pertamanya.

Dari sisi belanja negara, sebagai konsekuensi dari dinaikkannya rate pajak oleh Biden, ia berjanji akan memberikan stimulus fiskal yang lebih besar yakni sekitar US$ 2,5 triliun akumulatif 2021- 2024 untuk membantu memulihkan kembali ekonomi AS. Di saat yang sama stimulus fiskal Trump hanya akan terbatas sekitar US$ 334 miliar akumulatif 2021-2024 sebagai konsekuensi berlanjutnya pemotongan pajak.

Kebijakan Internasional

Sedangkan dari sisi kebijakan perdagangan internasional, Biden akan menyelesaikan permasalahan perdagangan dengan Tiongkok melalui lobi di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), tidak seperti Trump yang memilih jalur diplomasi bilateral dengan Tiongkok. Kemudian, di sisi pasar tenaga kerja, Biden cenderung lebih pro terhadap tenaga kerja migran dengan menyederhanakan syarat masuk ke AS, dibandingkan Trump yang kemungkinan akan mempersulit masuknya tenaga kerja migran.

Dari berbagai faktor tersebut, Moody’s Analytic di tahun 2020 memproyeksikan bahwa ekonomi AS akan tumbuh lebih tinggi jika Biden terpilih sebagai Presiden AS sebesar 4,2% di periode 2020-2024 dibandingkan Trump sebesar 3%. Hal itu karena stimulus fiskal yang lebih besar, perang dagang yang kemungkinan melemah serta pasar tenaga kerja di AS yang akan jauh lebih dinamis. Dengan melihat kemungkinan terpilihnya Biden sebagai Presiden AS tahun 2020, ekonomi AS diperkirakan akan cepat pulih dari resesi akibat Covid-19, seiring kebijakan Biden yang akan lebih tepat dalam menanggulangi Covid-19.

Dampaknya Terhadap Ekonomi Indonesia

Dengan kondisi ekonomi AS yang setara hampir 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, perbaikan ekonomi negara tersebut kemungkinan juga akan membantu perbaikan negara maju lainnya seperti negara-negara Eropa dan Tiongkok. Perbaikan ekonomi AS dan dunia pada tahun 2021 kemungkinan akan berdampak terhadap ekonomi Indonesia dari sisi ekspor dan investasi.

Membaiknya ekonomi AS kemungkinan akan mendorong kenaikan harga komoditas ekspor Indonesia seperti batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) serta menaikkan volume ekspor Indonesia ke AS. Selain itu, stimulus fiskal yang lebih besar dari Biden kemungkinan dapat mendorong arus modal masuk ke Indonesia, baik ke pasar saham maupun obligasi serta investasi asing langsung.

Jika ekonomi AS dapat tumbuh sekitar 4% pada tahun 2021, ekonomi Indonesia kemungkinan dapat tumbuh 2-3% tahun depan dengan syarat kasus harian Covid-19 sudah turun dengan atau tanpa ketersediaan vaksin. Namun ada satu faktor yang harus diwaspadai Indonesia yaitu kebijakan politik internasional AS apabila Biden jadi presiden yakni selama empat tahun masa kepemimpinan Trump AS cenderung menyudutkan Tiongkok baik dari sisi ekonomi dan politik, maka tekanan AS kali ini di bawah Biden kemungkinan akan bergeser ke Eropa Timur yaitu Rusia.

Sejak masa kampanye, ketidaksukaan Biden terhadap Rusia sudah terlihat. Bahkan hingga debat pertama presiden, Biden menyudutkan Trump sebagai antek Vladimir Putin, pemimpin Rusia. Memang, sejak 2014 hubungan Rusia-AS jatuh ke titik terendah setelah pecahnya perang Ukraina yang berakhir dengan referendum Crimea yang kembali sebagai wilayah Rusia. Sejak saat itu Rusia dan AS berseberangan di banyak front, baik itu di Syria, Libya, Belarusia, dan yang terakhir pada konflik Azerbaijan dan Armenia.

Biden melihat Rusia sebagai ancaman sesungguhnya bagi kepentingan AS dibandingkan Tiongkok, dengan menyebutnya sebagai ancaman bagi tatanan dunia, terutama demokrasi liberal karena ikut campur dalam pemilu AS tahun 2016. Hal tersebut gamblang ia ungkapkan pada acara World Economic Forum di Davos tahun 2017.

Kemungkinan besar harga minyak dapat naik dan mendorong kenaikan komoditas lain seperti pangan. Kenaikan harga minyak dan komoditas pangan jika terjadi pecah perang proxy antara AS-Rusia, akan berdampak pada ekonomi Indonesia yang selama ini menjadi net importir minyak dan pangan, yang kemungkinan akan mendorong pelemahan rupiah dan naiknya tingkat suku bunga domestik. Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk tersebut, mulai dari sekarang pemerintah harus menjaga pasokan pangan dan migas yang cukup paling tidak hingga dua tahun ke depan.

Sedangkan kenaikan harga minyak dan komoditas pangan jika terjadi pecah perang proxy antara AS-Rusia, akan berdampak pada ekonomi Indonesia yang selama ini menjadi net importir minyak dan pangan maka mulai dari sekarang pemerintah harus menjaga pasokan pangan dan migas yang cukup paling tidak hingga dua tahun dari sekarang.

Kebijakan impor beras dapat dipikirkan pada tahun 2020 ini sebesar 3-4 juta ton untuk menjaga ketersediaan stok beras di dalam negeri, sambil menambah luas lahan pertanian dan mempercepat akselerasi pembangunan infrastruktur Food Estate yang sudah direncanakan pemerintah agar siap berproduksi di tahun 2021. Untuk energi, meningkatkan kapasitas produksi B100 harus terus didorong sambil menjaga ketersedian stok migas di dalam negeri dengan meningkatkan realisasi lifting migas paling tidak sebesar 1,9 hingga 2 juta barel per hari dan mempercepat proses impor minyak mentah yang sedang rendah harganya.

*Pengamat Kebijakan Publik dan Hubungan Internasional

1896