Home Politik Pedoman Etik Kampanye di Media Sosial, Diluncurkan

Pedoman Etik Kampanye di Media Sosial, Diluncurkan

Jakarta, Gatra.com - Koalisi untuk Etika Media Sosial meluncurkan rumusan Pedoman Etik Kampanye Politik di Media Sosial untuk Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 (Pilkada 2020) hari ini, Minggu (22/11).
 
Pedoman Etik ini digagas dan didorong  oleh 11 kelompok masyarakat sipil dan asosiasi, yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Saraswati, Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan lainnya.
 
Peneliti Perludem, Mahardhika mengatakan, perumusan Pedoman Etik ini didasari kajian yang mengidentifikasikan risiko-risiko yang terjadi selama masa kampanye melalui sosial media. Dari hasil kajian itu, didapatkan sembilan risiko prioritas yang dinilai rentan terjadi selama Pilkada 2020.
 
"Kami juga melihat ada celah regulasi yang belum memadai untuk mengatur hal-hal yang bisa menanggulangi risiko tersebut. Dari situ kami coba membuat pedoman atau kode etik sebagai solusi taktis mengisi kekosongan atau celah hukum tersebut terutama untuk Pilkada 2020," jelasnya dalam acara peluncuran rumusan Pedoman Etik Kampanye Politik di Media Sosial untuk Pilkada 2020 secara virtual, Minggu (22/11).
 
Adapun sembilan risiko prioritas tersebut yakni, pertama, risiko terjadinya hoaks, berita palsu, dan disinformasi. Teradapat kekhawatiran adanya penyebaran materi yang sengaja dibuat-buat dan disamarkan sebagai kebenaran dan bertujuan untuk menurunkan integritas dan kredibilitas seseorang.
 
Kedua, misinformasi atau informasi keliru yang tidak dimaksudkan untuk menyesatkan. Ketiga, perilaku non-autentik yang terkoordinasi (CIB) di mana menggunakan akun palsu/anonim yang terkoordinasi untuk menyesatkan pengguna platform (konten click bait, kumpulan buzzer dan lainnya).
 
Keempat, kampanye hitam terkoordinasi yang bertujuan untuk merusak reputasi lawan/oposisi. Kelima, Penggunaan bot atau sistem yang mensimulasikan manusia untuk mengarahkan topik yang sedang tren. Keenam, Influencers maupun buzzers yang mendorong topik/isu tertentu agar populer.
 
Ketujuh, aliran dana kampanye yang tidak transparan, khususnya terkait dengan belanja iklan di media sosial yang memungkinkan penargetan mikro. Kedelapan, Promosi atmosfer polarisasi yang mendorong politik identitas. Terakhir, penggunaan akun palsu/anonim.
 
"Kami sudah komunikasikan ini ke beberapa pihak, dengan KPU dan Bawaslu, termasuk juga kamu sempat ke Dewan Pers, dan ke KPU daerah juga. Dengan harapan, kode etik ini bisa diadopsi oleh teman-teman di daerah yang menyelenggarakan Pilkada sehingga kandidat di daerah juga bisa ikut dalam dorongan komitmen bersama atau komitmen moral ini," ujarnya.
768