Home Politik Dua Dekade Otsus Papua, Kebijakan 'Setengah Hati'?

Dua Dekade Otsus Papua, Kebijakan 'Setengah Hati'?

Benahi dan Lanjutkan Otsus Papua Jilid 2

Oleh: Soleman B. Ponto*

 

Sejak masuknya Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), gerakan untuk membebaskan diri dari NKRI tidak pernah surut. Salah satu cara untuk meredam gerakan itu pemerintah RI memberikan Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua dan Papua Barat yang akan berakhir pada 2021 mendatang.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian berencana memperpanjangnya untuk 20 tahun ke depan. Ketika berkunjung ke Timika, Papua pada akhir Juli lalu, ia menyebut pentingnya percepatan pembangunan di Papua. Mendagri turut meminta Komisi II DPR RI mengutamakan pembahasan RUU Otsus. “Urgent, perlu diselesaikan tahun ini,” ujar Tito dalam pembahasan itu.

Otsus dan Urgensinya

Otonomi Khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Peraturan itu disahkan di Jakarta pada 21 November 2001 oleh Presiden ke-4 RI, Megawati Soekarnoputri. Sependapat dengan Mendagri, bahwa Otsus untuk Papua dan Papua Barat perlu dilanjutkan. Hal itu disebabkan karena melalui Otsus orang Papua dapat membangun Papua menurut keinginan atau kebutuhannya sendiri. Dengan adanya Otsus, berhasil atau tidaknya pembangunan di Papua adalah hasil kerja dan sumbang saran dari warga Papua sendiri tanpa sepenuhnya menyalahkan pemerintah Jakarta.

Akan tetapi pemerintah pusat kelihatan tidak sepenuh hati dalam memberikan Otsus di Papua dan Papua barat. Itulah sebabnya pemerintah Jakarta dapat dengan mudah disalahkan sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab terhadap gagalnya pembangunan di Papua.

Lalu dari mana kita tahu bahwa pemerintah pusat “setengah hati” dalam memberikan Otsus itu. Mari kita telusuri bersama. Mari kita lihat pada Ayat 1 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 pada Bab IV Kewenangan Daerah sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dari bunyi ayat 1 pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, sangat jelas adanya pembagian kewenangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan kewenangan pemerintah Jakarta.

Provinsi Papua dan Papua Barat seakan-akan diberikan seluruh kewenangan di bidang pemerintahan. Sebaliknya pemerintah Jakarta juga seakan-akan hanya memiliki enam (6) kewenangan saja yaitu: kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan.

Akan tetapi, dengan adanya tambahan frasa “kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, menjadikan semuanya itu berubah. Tambahan frasa inilah yang merupakan bukti pemerintah Jakarta “setengah hati” dalam memberikan Otsus kepada provinsi Papua dan Papua Barat. Hal itu disebabkan karena dengan menggunakan frasa ini maka pemerintah Jakarta bisa keluar dan menambah dari 6 kewenangan yang sudah disebutkan dengan jelas, serta mereduksi kewenangan pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat.

Sebagai pembanding mari kita lihat UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Untuk mengakomodasi permintaan GAM untuk merdeka, pemerintah RI telah membuat UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh terlihat pada Bab IV Kewenangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah.

(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan urusan tertentu dalam bidang agama.

Dari bunyi pasal 7 UU 11/2006 tentang Provinsi Aceh sangat jelas terlihat bahwa semua kewenangan untuk menjalankan roda pemerintahan ada di tangan Pemerintah Provinsi Aceh. Pemerintah Jakarta hanya memiliki 6 kewenangan saja yaitu kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.

Jadi sangat jelas untuk Aceh pemerintah Jakarta hanya memiliki 6 kewenangan saja. Selain kewenangan itu adalah kewenangan pemerintah Aceh. Hal ini berbeda dengan UU/ 21 Tahun 2001, tentang Otsus Papua dan Otsus Papua Barat. Kewenangan pemerintah Jakarta selain kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama, sama seperti di Aceh, namun masih ada kewenangan tertentu lainnya yang akan diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Artinya kewenangan pemerintah Jakarta masih bisa “keluar” dari 6 kewenangan yang disebut di atas. Jadi terlihat kesan “setengah hati” dalam memberikan Otsus kepada provinsi Papua dan Papua Barat. Itulah sebabnya ada pihak-pihak yang menyatakan kegagalan Otsus di Papua dan Papua Barat karena campur tangan pemerintah Jakarta.

Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Otsus untuk Papua dan Papua Barat harus dilanjutkan. Akan tapi dalam membuat Undang-Undangnya frasa “kewenangan lain yang akan diatur dengan peraturan perundang-undangan” harus dihapuskan.

*Pengamat militer dan pertahanan. Pernah menjabat anggota tim perundingan damai RI-GAM

416