Home Gaya Hidup Yuk Tukoni, Jangan Sampai Kuliner Lokal Mati karena Pandemi

Yuk Tukoni, Jangan Sampai Kuliner Lokal Mati karena Pandemi

Yogyakarta, Gatra.com - Ikan lele yang tersaji dengan kuah kemerahan itu sungguh menggugah selera. Terasa lembut dan berpadu dengan citarasa bumbu yang khas saat masuk ke mulut. Sebelum mencicipinya pun kita bisa tamasya ke pawon atau dapur pembuatan masakan ini dan bertemu dengan Mbah Marto.

Itulah pengalaman menikmati Mangut Lele Mbah Marto, kuliner di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Masakan ini amat populer di kalangan pecinta kuliner. “Kalau hari biasa, saya bisa masak sampai 50 kilogram lele. Sabtu-Minggu bisa dua kali lipatnya,” tutur Poniman, 50 tahun, salah satu putra Mbah Marto, yang mengelola warungnya kini.

Namun jumlah itu hitungan sebelum pandemi menyerang. Maklum saja, sebagai tujuan wisata kuliner, usaha mangut lele itu terimbas pembatasan kunjungan wisata dari luar daerah demi menekan penularan Covid-19. Saat ini, menu ikan itu ‘hanya’ menghabiskan 35 kilogram lele.

“Yang ke sini bisanya paling bamyak dari Jakarta, Bandung, hingga Malang. Pandemi ini pengunjung jelas turun. Maret sampai Mei kami tutup,” ujar Poniman kepada Gatra.com, Senin (21/12).

Padahal ia tetap harus memutar usaha dan menghidupi delapan pekerja. Apalagi selama lima tahun ini, menu khas itu dibanderol Rp25 ribu per porsi. Namun warung Mangut Lele Mbah Marto tak sendiri merasakan dampak pandemi.

Kepala Pembiayan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) DIY Agus Mulyono menyebut hingga akhir 2019 ada 262 ribu pelaku UKM. “Jumlah ini didominasi usaha kuliner yang mencapai 40 persen,” ujar Agus.

Mengingat 80 persen usaha itu usaha mikro dan kecil, mayoritas juga terdampak pandemi. “Jangankan menjual, produksi saja sulit hingga banyak usaha tutup. Kondisi ini berpengaruh sangat besar bagi perekonomian DIY yang mengandalkan sektor wisata,” tutur Agus.

Selama pandemi, ekonomi DIY minus 0,17 persen triwulan pertama, kemudian anjlok 6,74 persen, lantas sempat membaik hingga minus 2,84 persen.

Guru Besar dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Mudrajad Kuncoro punya istilah untuk menggambarkan kondisi UKM di masa pandemi. “Usaha kami mati,” kata dia memelesetkan kepanjangan UKM.

Ia mengingatkan, krisis karena pandemi ini beda dari krisis ekonomi 1998. “Waktu itu yang kena konglomerat, pasar modal, dan valas. Sekarang, UKM-nya juga ambyar,” ujarnya. Padahal dari 64 juta pelaku usaha di Indonesia, 99 persen adalah UKM.

Selama masa pandemi, UKM bak mengalami lockdown karena tak ada permintaan dan pasokan turun. Akibatnya, pengangguran dapat bertambah, kemiskinan dan ketimpangan bakal meningkat. “Pengangguran bisa sampai 4-9 juta orang,” kata Mudrajad memperingatkan.

Sejumlah langkah pun ditempuh untuk mempertahankan roda ekonomi usaha kuliner lokal di tengah pandemi. Selain menggencarkan promosi di media sosial, produk juga dikemas dan dipasarkan dengan cara baru. Mangut Lele Mbah Marto turut menempuh jalan inovasi itu.

“Kami berinovasi dan tercipta produk baru dalam bentuk frozen. Jadi kami kemas isi 3-5 lele dan kuahnya terpisah. Pemesanan sudah mencapai Jakarta, Bandung, dan Surabaya,” tutur Poniman.

Langkah itu dirintis Tukoni, gerakan sosial untuk memasarkan produk kuliner lokal di tengah pandemi. Mangut Lele Mbah Marto salah satu dari 10-15 produk kuliner yang sejak awal dipromosikan di dunia maya lewat #YukTukoni--dari bahasa Jawa yang berarti 'ayo dibeli'.

“Awalnya ini gerakan sosial untuk membantu UMKM FnB (food and beverages, makanan dan minuman) karena enggak bisa buka warung, tak bisa leluasa jualan, dan ordernya berkurang dari layanan online lain,“ tutur Revo Al Imran Sulaeman, 34 tahun, inisiator Tukoni.

Revo dan timnya membuat akun Instragram dan laman Tukoni—serta kini tengah mengembangkan aplikasi. Di dunia maya, ia memajang produk-produk kuliner lokal pilihan yang telah diseleksi tim Tukoni. “Niatnya bukan untuk bisnis dulu, tapi bagaimana roda ekonomi UKM tetap berputar,” ujarnya.

Menurut Revo, Tukoni berbeda dari layanan pembelian makanan secara online lain. Semua kuliner terpilih telah diseleksi dan terkumpul di Tukoni. Tim Tukoni pun melakukan kontrol kualitas, mulai dari kehalalan, kebersihan, hingga keberlanjutan kuliner tersebut. Tukoni kemudian mengemasnya secara higienis dan menarik, lantas menjalankan strategi branding di dunia maya.

“Konsumen jadi lebih hemat karena beli di satu tempat. Kurir juga khusus mengantar ke konsumen tersebut, tidak ke sana kemari, sehingga ada trust produk itu higienis khusus,” kata Revo, seorang pegiat kreatif yang juga sempat menggeluti usaha kuliner dan kopi ini.

Saat ini, Tukoni telah menggandeng 125 mitra dengan sekitar 220 produk kuliner—dari bakmi sampai keripik, dari sambal hingga cendol. Sebagian besar makanan dan penganan dari Yogyakarta, selain dari Solo, Magelang, dan Madiun. Layanan Tukoni telah menjangkau sembilan kota, termasuk Bali, dengan sekitar 1.000 transaksi per bulan.

“Sekitar 80 persen mitra kami punya medsos tapi belum paham mengaktifkan kampanye digital. Tak cukup bantuan fasilitas, mengedukasi mindset wirausaha ke pelaku UKM juga jadi tantangan,” kata Revo menyinggung semangat wirausaha UKM yang belum optimal.

Dengan margin 15 persen untuk tiap penjualan produk, Revo menyatakan belum berorientasi bisnis dan sekadar memenuhi kebutuhan operasional. Namun ia terus menjajaki potensi pengembangan usaha kuliner para mitranya melalui kerjasama bisnis, termasuk adanya masukan ke UKM. “Kalau simbiosis mutalisme bagus, keuntungan adalah efek,” kata dia.

Revo optimistis gerakan sosial ini terus bergulir. Tukoni telah membuka gerai----dinamai Pawon Bebarengan, di mal Plaza Ambarrukmo, Yogyakarta--dan menyiapkan Tukoni sebagai rumah inkubasi UKM. “Ini akan memberi tambah produk kuliner UKM karena saya yakin produk-produk ini bisa bersaing di nasional dan luar negeri,” tuturnya.

Atas kiprah Revo dan timnya, Tukoni meraih apresiasi Kementerian Pariwisata berupa fasilitasi pembentukan badan usaha dan diganjar Satu Indonesia Awards 2020 dari Astra. Apresiasi juga datang dari pelaku usaha kuliner lokal, seperti Poniman yang bisa memperluas pasar dan meraup cuan tambahan hingga Rp1,5 juta per pekan dari menu mangut lele yang dibekukan.

“Kerjasama ini jelas membantu usaha mengangkat omzet selama pandemi. Soalnya tidak semua paham (pemasaran) online. Padahal di tengah pandemi ini semuanya ingin ekonomi stabil dan semua butuh makan kuliner,” tutur Poniman yang mengelola usaha dengan brand dari nama ibunya itu sejak 1969 dan berjanji akan menjaganya bertahan termasuk dari pandemi.

728