Home Gaya Hidup Difabel: Kami Bangga Jadi Tuli daripada Tuna Rungu

Difabel: Kami Bangga Jadi Tuli daripada Tuna Rungu

Temanggung, Gatra.com - Selama ini kata tuli dianggap kurang sopan dalam pengucapan atau penulisan, dan lebih dipilih kata tuna rungu. Namun demikian, hal itu justru dibantah oleh para difabel, khususnya ketulian.

Ketua Komunitas Tuli Temanggung Bersenyum (TTB), Jawa Tengah, Dwi Kusuma Wirawan (24), mengatakan, para difabel ini lebih senang disebut tuli daripada tuna rungu. Kata tuli dengan huruf "T" besar atay "Tuli". Karena tuli merupakan sebuah anugerah dari Tuhan dan bukan merupakan sebuah kekurangan atau gejala medis.

"Maka mulai sekarang kami mengajak dari teman-teman media untuk menulis atau menyebut "Tuli" dengan T besar bukan tuna rungu. Mengapa menggunakan kata Tuli, karena perspektif budaya itu menunjukkan tuli adalah sebuah identitas diri punya kemampuan menggunakan bahasa isyarat, bisa bekerja dan punya kesetaraan dengan orang dengar," katanya melalui penerjemah bahasa isyarat bernama Susi (35), Senin (28/12).

Dikatakan, penggunaan kata tuna rungu itu lebih merujuk pada perspektif medis yang artinya mereka harus diperbaiki, atau mereka mengalami kegagalan dalam mendengar. Padahal tuli ini tidak bisa diperbaiki.

"Orang tuli harus menggunakan alat bantu dengar, harus ke dokter dioperasi itu tidak menyembuhkan. Sebenarnya tidak harus diperbaiki, tapi yang dibutuhkan adalah fasilitas. Jadi mohon untuk teman-teman di media mulai menggunakan kata Tuli menggunakan T besar untuk menggantikan tuna rungu. Kami lebih bangga menjadi Tuli daripada tuna rungu," tegasnya.

Dwi sendiri saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa semester 5 Jurusan Tehnik Informatika (TI), Universitas Muhammadiyah Magelang (Unima). Dalam mengikuti pembelajaran selama ini ia mengaku tidak mengalami kesulitan dan menggunakan aplikasi dalam mengikuti proses pembelajaran atau terkadang berkomunikasi menggunakan tulisan.

Ia pun berharap kepada pemerintah agar lebih memperhatikan kaum difabel terutama untuk ketulian bisa memberikan akses lalu penterjemah di fasilitas umum, perkantoran. Apabila tidak ada penerjemah bisa diperpanyak petunjuk menggunakan tulisan. Kemudian bisa mengajak komunikasi dengan bahasa gestur bukan bahasa verbal.

613

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR