Home Info Sawit Ulah Kaplingan Belantara, Rakyat Celaka

Ulah Kaplingan Belantara, Rakyat Celaka

Jakarta, Gatra.com  - Gus Dalhari Harahap cuma bisa melongo menengok data angka deforestasi hutan yang dibikin oleh Forest Watch Indonesia. 

Di lembaran setebal 18 halaman itu  disebutkan bahwa hingga tahun 2017, 71,2 juta hektar luas daratan Indonesia sudah dikapling oleh 4 jenis korporasi.

Yang membikin lelaki 50 tahun ini makin bengong, 32 juta hektar dari konsesi itu rupanya masih bertutupan hutan bagus.

Masih di lembaran itu, Forest Watch Indonesia merinci; Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau yang biasa disebut dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sekitar 18,5 juta hektar. Dari luasan itu 10,7 juta hektar masih bertutupan hutan bagus.

Terus ada pula Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) seluas 11 juta hektar, hampir 2 juta hektar masih bertutupan hutan bagus.

Izin perkebunan kelapa sawit mencapai 19 juta hektar dengan tutupan hutan yang masih bagus sekitar 2,3 juta hektar.

Terakhir izin tambang seluas 36,5 juta hektar dengan tutupan hutan yang masih bagus sekitar 9,4 juta hektar.

"Saya menengok otoritas perhutanan ini sudah sesuka hati dan akal-akalan. Kenapa kebun sawit seluas 3,5 juta hektar dipersoalkan sampai-sampai membikin Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) segala sementara 32 juta hektar hutan disuruh dihancurkan dengan dalih sudah diberi izin. Ini keterlaluan namanya," rutuk lelaki yang baru kembali terpilih sebagai Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) Sumatera Utara (Sumut) ini saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin.

Tak hanya itu yang dia persoalkan, otoritas kehutanan katanya juga telah sesuka hati mengartikan apa itu kawasan hutan.

Baca juga: RPP Dipaksakan, Petani Jadi Arang, Pemerintah Jadi Abu

"Kita tahu sendiri, sesuai pasal 1 ayat 3 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa kawasan hutan itu adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Ini artinya enggak bisa diganggu. Tapi yang 32 juta hektar tadi yang masih bertutupan hutan bagus kok dihabisi?" ayah tiga anak ini semakin gusar.

Gus kemudian meminta otoritas penegak hukum menelusuri izin-izin ini dan bila perlu, ditelusuri sampai ke hulunya, apa yang membikin izin-izin itu sampai keluar.

"Saya enggak menuduh ada main mata, tapi faktanya di dua Provinsi, Riau dan Kalteng paling parah kondisinya, semua mau dihutankan", tegasnya.

Bagi Akhmad Indradi, negara mestinya ada untuk rakyat, bukan untuk korporasi dan satwa dilindungi.

"Sebab ruang jelajah rakyat ini teramat penting di saat mereka terus bertumbuh. Jangan hanya slogan saja demi rakyat tapi kenyataan di lapangan, justru berbeda," kata Ketua DPD Apkasindo Kabupaten Penajam Kalimantan Timur (Kaltim) ini kepada Gatra.com, tadi malam.

Soal otoritas kehutanan menyebut kebun rakyat masuk dalam kawasan hutan, mestinya kata lelaki 43 tahun, negara bertanya kenapa?

"Itu lantaran rakyat butuh lahan untuk melanjutkan hidupnya dan mereka di sana sudah tinggal turun temurun, jauh sebelum bahasa kawasan hutan ada," ujar ayah dua anak ini.

Lalu kalau rakyat dibilang merambah hutan, itu lantaran apa? "Sebab lahan yang aman sudah dikasi pemerintah kepada korporasi. Mau tak mau mereka memanfaatkan yang ada, itupun bekas-bekas babatan hutan saat jaya-jayanya ilegal loging," katanya.

Dan lagi-lagi kata Indra, pemerintah mustinya koreksi diri dengan keadaan ini. Kalau pemerintah pernah memikirkan ruang jelajah rakyat, sedari awal pasti sudah disiapkan, bukan malah menyiapkan lahan untuk korporasi dan binatang. Masa lebih berharga binatang dari rakyat, pakai istilah dilindungi pula lagi," rutuknya.

Dari semua uraian tadi kata Indra, tak ada sebenarnya alasan pemerintah untuk membebani rakyat dengan apapun pada RPP yang dirancang itu.

"Tapi bebaskan semua hak mereka dari klaim kawasan hutan, itu hutang Pemerintah yang harus dibayar. Beruntung pemerintah tidak dituntut oleh rakyat atas pengabaian ruang jelajah rakyat itu," tegas Indra.

Lelaki ini kemudian mengecam omongan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Hardwinarto yang menyebut kalau keberadaan masyarakat terkait kawasan hutan belum bisa diselesaikan secara optimal lantaran sebelum-sebelumnya, beberapa undang-undang belum mengatur secara tegas. Ini dikatakan Sigit pada webinar Focus Group Discussion (FDG) yang digelar oleh LPPM Institut Pertanian Bogor (IPB) Selasa pekan lalu. 

"Aturan sebelum munculnya UUCK, itu sudah bagus. Sekelas Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah lagi. Kok dibilang belum ada yang tegas," Indra bertanya. 


    

Abdul Aziz

824