Home Politik Tanggapan Polri Soal Wajah Baru FPI, 'Front Persatuan Islam'

Tanggapan Polri Soal Wajah Baru FPI, 'Front Persatuan Islam'

Jakarta, Gatra.com - Front Pembela Islam (FPI) resmi dibubarkan dan dilarang pergerakannya oleh pemerintah. Beberapa jam setelah pelarangan itu, mereka pun merespons dengan membangun wajah baru, yakni Front Persatuan Islam.

Front Persatuan Islam dideklarasikan oleh 19 orang. Satu di antaranya adalah Ketua FPI, Ahmad Sobri Lubis. Dalam keterangan resmi yang diterbitkannya pada Rabu (30/12), FPI menyebut pembubaran organisasi masyarakat mau pun partai politik sudah pernah terjadi pada era Nasakom. Pada era Nasakom tersebut, sasaran pembubaran juga adalah ormas dan parpol yang menentang terhadap Rezim Nasakom, terutama ormas dan parpol Islam.

"Jadi pelarangan Front Pembela Islam saat ini adalah merupakan De Javu alias pengulangan dari Rezim Nasakom yang lalu," demikian bunyi keterangan Front Persatuan Islam itu.

Front Persatuan Islam, yang selanjutnya turut ditulis FPI, menganggap Surat Keputusan Bersama (SKB) melalui enam instansi pemerintah sebagai bentuk pengalihan isu dan obstruction of justice atau penghalang-halangan pencarian keadilan terhadap peristiwa pembunuhan enam anggota Front Pembela Islam dan bentuk kedzaliman yang nyata terhadap rakyat.

Mereka juga menyebut SKB Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri dan BNPT merupakan pelanggaran terhadap konstitusi, di antaranya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013.

FPI menilai hak berserikat adalah hak asasi manusia yang hanya boleh dikurangi dalam keadaan darurat. Mereka juga memakai dasar UU No. 17 Tahun 2014 jo. UU No. 16 Tahun 2017 Pasal 80 yang menjelaskan bahwa Keputusan Bersama enam instansi pemerintahan adalah tidak berdasar hukum.

"Karena, Pasal 80 hanya mengatur ormas berbadan hukum, dan itupun melalui pencabutan status badan," terangnya.

Mereka menambahkan, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013, dalam pertimbangan hukum halaman 125 menyatakan, “Suatu ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi tidak dapat menetapkan ormas tersebut ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.”

Dengan demikian, lanjut FPI, pelarangan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku. Keputusan Bersama tersebut tidak memiliki kekuatan hukum baik dari segi legalitas maupun legitimasi.

Atas dasar itu, organisasi yang dinahkodai Muhammad Rizieq Shihab yang sudah dilarang berdiri lagi, mengubah identitasnya menjadi Front Persatuan Islam.

"Bahwa kepada seluruh pengurus, anggota dan simpatisan Front Pembela Islam di seluruh Indonesia dan mancanegara, untuk menghindari hal-hal yang tidak penting dan benturan dengan rezim dzalim maka dengan ini kami deklarasikan Front Persatuan Islam untuk melanjutkan perjuangan membela agama, bangsa, dan negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945," tutup surat itu.

Adapun deklarator dari Front Persatuan Islam di antaranya Abu Fihir Alattass, Tb Abdurrahman Anwar, Ahmad Sobri Lubis, Munarman, Abdul Qadir Aka, Awit Mashuri, Haris Ubaidillah, Idrus Al Habsyi, Idrus Hasan, Ali Alattas.

S1elain itu ada Ali Alattas, HI Tuankota Basalamah, Syafiq Alaydrus, Baharuzaman, Amir Ortega, Syahroji, Waluyo, Joko, M Luthfi.

Respon Mabes Polri

Sehari setelah deklarasi tertulis itu, Mabes Polri pun enggan berkomentar banyak terkait bentukan baru FPI. Saat ditanya apakah tetap ada penindakan dari aparat dengan pergantian nama itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono hanya menjawab polisi bakal tetap fokus pada SKB itu saja.

"Kita sekarang fokus Keputusan Bersama itu bahwa menyangkut dengan kegiatan Front Pembela Islam, atribut maupun simbol-simbol FPI (dilarang). Kita fokus pada keputusan bersama tersebut," singkat Rusdi di Gedung Bareskrim Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (31/12).

Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan status organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI). Mahfud menyebut FPI belum memenuhi persyaratan legal standing, akan tetapi kegiatannya dianggap telah melanggar ketertiban masyarakat.

"Bahwa FPI sejak tanggal 20 Juni 2019, secara de jure telah bubar sebagai ormas, tetapi sebagai organisasi tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan dan bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping, provokasi, dan sebagainya," kata Mahfud saat konferensi pers yang disiarkan secara daring melalui YouTube Kemenko Polhukam, Rabu (30/12).

Mahfud menambahkan, keputusan itu juga memakai dasar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 pada 23 Desember 2014. Dengan itu, lanjut dia, pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan kegiatan yang dilakukan FPI karena FPI tidak punya legal standing, baik sebagai organisasi masyarakat maupun organisasi biasa.

Mahfud pun memberikan imbauan kepada aparat pemerintah pusat dan daerah untuk menolak setiap kegiatan organisasi yang dinahkodai Muhammad Rizieq Shihab itu.

"Jadi kalau ada sebuah organisasi mengatasnamakan FPI itu dianggap tidak ada dan harus ditolak karena (tidak ada) legal standing yang kita anggap. Terhitung hari ini," jelas dia.

Pelarangan aktivitas FPI dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani oleh enam pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga. Mereka adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Kapolri Jenderal Idham Azis, serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar.

1377