Home Gaya Hidup Dari Memulung, Ibu Ini Dirikan Rumah Baca untuk Anak-anak

Dari Memulung, Ibu Ini Dirikan Rumah Baca untuk Anak-anak

Tegal, Gatra.com - Sembilan anak meriung di teras sebuah rumah petak di RT 09 RW X Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, Selasa (22/12) lalu. Duduk di atas tikar lusuh, mereka asyik dengan aktivitasnya masing-masing.

Seorang di antaranya terlihat serius dengan buku yang sedang dibacanya. Seorang anak lain memilih mewarnai gambar di sebuah buku yang sudah mulai lecek. Beberapa anak lainnya memperebutkan pensil atau buku hingga berubah menjadi pertengkaran khas anak-anak.

Mereka tak memedulikan lalu-lalang kendaraan di jalan depan rumah dan denyut kesibukan di Pelabuhan Tegal yang berjarak sekitar 200 meter dari tempat mereka meriung. Sementara pemilik rumah, Riyani (47), sesekali ikut duduk dan menemani mereka.

Aktivitas anak-anak di rumah Riyani tersebut sudah berlangsung sekitar sepekan. Perempuan yang sehari-hari memulung barang rongsok itu menjadikan rumahnya yang hanya memiliki satu kamar tidur itu sebagai rumah baca.

Meski hanya seorang pemulung, Riyani memiliki kepedulian terhadap anak-anak yang tinggal di sekitar rumahnya dengan mendirikan rumah baca. Rumah baca itu dia namai Gubug Baca Hati Nurani. "Saya beri nama Gubug Baca Hati Nurani karena menurut saya semua orang memilik hati, tapi belum tentu memiliki nurani," kata Riyani saat ditemui Gatra.com, Selasa (22/12).

Riyani pertama kali mendirikan Gubug Baca Hati Nurani pada 14 Maret 2019 lalu, namun sempat berhenti dan kembali dibuka sejak 14 Desember 2020 setelah melihat anak-anak masih kerap mendatangi rumahnya untuk meminjam buku. Modal pendirian rumah baca itu hanya semangat dan kecintaan Riyani pada dunia literasi. Buku dan alat tulis yang disediakan di rumahnya dia kumpulkan satu per satu ketika memulung.

"Kalau nemu buku atau alat tulis yang masih bisa dimanfaatkan pas lagi memulung saya bawa pulang. Jadi jumlahnya ya masih seadanya. Makanya kadang anak-anak berebut buku atau alat mewarnai. Harus sabar menemani dan mengarahkan, namanya anak-anak," tuturnya.

Meski buku dan alat tulis yang tersedia masih seadanya, keberadaan rumah baca yang didirikan Riyani mampu menjadi tempat alternatif bagi anak-anak di sekitar tempat tinggalnya untuk bermain sembari belajar. Apalagi, mereka lama tak berangkat sekolah karena pandemi Covid-19.

"Anak-anak kan lama ya tidak ke sekolah karena sekolahnya online. Ternyata mereka jenuh dan membutuhkan tempat untuk bisa bermain dan belajar. Ada juga yang memang tidak sekolah. Jadi mereka sering datang ke sini untuk baca buku, mewarnai, atau belajar menulis. Di sini mereka bebas bermain dan belajar apa saja," ungkap Riyani.

Inisiatif Riyani menyediakan tempat bermain dan belajar bagi anak-anak mendapat dukungan dari tetangga-tetangganya. "Alhamdulillah tetangga-tetangga mendukung. Anak-anak juga senang. Kadang saya masih tidur, mereka sudah ketok-ketok pintu, mau minjam buku," ujar dia.

Riyani sudah menjadi pemulung sejak 2005. Pekerjaan itu dia lakoni karena harus menghidupi keempat anaknya sendirian. Sang suami, disebut Riyani kerap berlaku kasar dan tak bertanggungjawab hingga rumah tangga mereka akhirnya berujung perceraian.

"Waktu pertama memulung baru punya anak tiga. Waktu itu saya bingung mau kerja apa. Mau mengemis saya tidak punya mental untuk mengemis, akhirnya memulung. Kami hidup tidak bisa normal seperti yang lain. Kadang makan sehari satu kali,” ucapnya.

Riyani memulung barang rongsok dari satu tempat pembuangan sampah (TPS) ke TPS lain dengan berjalan kaki atau mengayuh sepeda. Barang rongsok yang dikumpulkannya dia jual ke pengepul.

Biasanya dalam sepekan Riyani bisa memperoleh Rp300 ribu dari pekerjaannya itu. Namun sejak pandemi Covid-19 melanda, penghasilannya menurun drastis. "Sejak ada corona sebulan dapat Rp100 ribu karena harga rongsok jadi murah," ungkapnya.

Belakangan ini, penghasilan Riyani kian berkurang. Usianya yang beranjak senja membuatnya tenaganya tak lagi sekuat dulu. Dalam sepekan dia hanya dapat penghasilan kurang dari Rp50 ribu.

"Dulu biasa memulung sampai jam 12 malam. Sekarang sudah mulai mengurangi. Kadang pagi, kadang sore. Memulungnya juga tidak bisa lagi jauh-jauh. Jadi dapat rongsoknya lebih sedikit," ucapnya.

Untungnya, dua anaknya yang sudah lulus SKM kini mulai mandiri. Anak pertama yang berusia 22 tahun sedang merintis usaha jualan kopi kecil-kecilan dan merajut mimpi memiliki kedai kopi sendiri, sedangkan anak kedua yang berusia 18 tahun bekerja di sebuah kedai kopi setelah berupaya melamar pekerjaan di beberapa pabrik.

Hal itu disyukuri Riyani. Meski tak besar, setidaknya penghasilan keduanya bisa membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari kala Riyani tak mendapat uang dari memulung. "Kalau dua adiknya masih sekolah di SD dan SMP. Mereka kadang membantu kakaknya jualan kopi, nanti dapat uang jajan," ujarnya.

491

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR