Home Hukum Pakar Hukum Kepailitan: Putusan PKPU Kresna Life Kurang Pas

Pakar Hukum Kepailitan: Putusan PKPU Kresna Life Kurang Pas

Jakarta, Gatra.com - Keputusan status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life) berpotensi cacat hukum. Karena tidak sesuai dengan Undang-Undang No.37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, UU No.21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan UU No.40/2014 tentang Perasuransian.

Hakim Tuty Haryati, Agung Suhendro dan Bambang Nurcahyo,memutuskan status PKPU Kresna Life pada 10 Desember 2020. Permohonan PKPU diajukan oleh nasabah atas nama Lukman Wibowo pada 18 November 2020.

Nomor perkaranya, 389/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Dengan begitu, nasabah bersatus kreditor dan Kresna Life sebagai debitur.

Di pasal 223 juncto pasal 2 ayat 5 UU Kepailitan dan PKPU dijelaskan bahwa pengajuan status PKPU perusahaan asuransi adalah Menteri Keuangan. Karena pengawasan industri keuangan dialihkan ke OJK, seperti diatur di UU Perasuransian, pengajuan gugatan PKPU harus lewat OJK.

Di pasal 30 UU OJK, juga mengatur tentang pengajuan gugatan PKPU perusahaan asuransi harus dilakukan OJK. Sementara, permohonan status PKPU Kresna Life diajukan oleh pihak kreditor.

Merasa janggal dengan putusan hakim, Alvin Lim, kuasa hukum nasabah Kresna Life, mengadukan tiga hakim tadi ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. Alvin menilai ada dugaan pelanggaran etik dalam putusan status PKPU Kresna Life. “Saya minta demi hukum sidang PKPU tidak dilanjutkan,” kata pendiri LQ Indonesia Law Firm itu.

OJK sendiri tidak pernah menyetujui permohonan PKPU Kresna Life. Sebaliknya, OJK telah menolak permohonan izin PKPU Kresna Life yang diajukan sebelumnya dari dua nasabah atas nama Lie Herton dan Rudy Kartadinata.

Berdasarkan keterangan resminya, OJK akan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. "Mempertimbangkan kepentingan pemegang polis PT AJK (Kresna Life) yang lebih luas serta dampak PKPU terhadap reputasi industri perasuransian, terkait dengan Putusan PKPU,” tertulis di rilis resmi OJK.

Pakar Hukum Kepailtan Prof. Rahayu Hartini mengatakan bahwa status PKPU perusahaan asuransi seperti Kresna Life seharusnya dimohonkan OJK. Dasar hukumnya seperti di UU Kepailitan dan PKPU, pemohon PKPU adalah Menteri Keuangan. “Ketika ada UU OJK, maka (PKPU) asuransi diambil alih oleh OJK. Artinya, pemohonnya OJK. Berarti hakimnya kurang pas,” ujarnya kepada GATRA, Sabtu lalu.

Profesor pertama hukum kepailitan di Indonesia itu, enggan berspekulasi tentang alasan dan pertimbangan hakim memutus status PKPU Kresna Life. Bisa saja, hakim menggunakan pertimbangan di luar pasal 223 UU Kepailitan dan PKPU, pasal 30 UU OJK maupun pasal 50 UU Perasuransian. “Yang pasti saya tidak sependapat, jika bukan OJK,” katanya.

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu, putusan permohonan PKPU Kresna Life seharusnya ditolak hakim. Karena pemohon bukan pihak yang berkompeten untuk memohonkan PKPU. “Kalau ternyata hakim tetap juga memutus, nah ini menjadi bidang saya untuk saya teliti kemudian,” ujarnya.

Perempuan yang disapa Yayuk ini, enggan mengomentari adanya dugaan pelanggaran etik terhadap hakim yang memutus PKPU Kresna Life. Menurutnya, hakim memiliki wewenang mutlak untuk memutus. “Saya nggak punya kompetensi menjawab itu. Itu bisa dianotasi, tapi nggak akan mengubah putusan hakim,” katanya. “Itulah kualitas putusannya.”

Yayuk menjelaskan bahwa jika status PKPU sudah dikabulkan hakim, maka tidak ada lagi upaya hukum lainnya, seperti kasasi maupun peninjauan kembali (PK). “Yang harus diketahui, kalau salah satu pihak tidak terima, tidak ada upaya hukum,” katanya.

Itu artinya pihak kreditor dan debitur yang tidak setuju, harus mengikuti PKPU sementara selama batas waktu 45 hari dan PKPU tetap selama 270 hari. “Kalau nggak ketemu perdamaian, nanti ending-nya bisa pailit,” ujarnya.

Berbeda dengan putusan permohonan status kepailitan. Jika pihak kreditor maupun debitur tidak setuju status kepailitan, salah satu pihak dapat mengajukan kasasi atau PK. “Itu Undang-undang yang ngomong,” katanya.

3200