Home Info Sawit Pasal Torpedo Sudarsono

Pasal Torpedo Sudarsono

Jakarta, Gatra.com - Sejak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kehutanan jadi omongan, bahasa kawasan hutan pun semakin jadi omongan banyak orang.

Mulai dari mereka yang kampungnya diklaim berada dalam kawasan hutan hingga para petani kelapa sawit yang kebunnya juga terjebak pada klaim yang sama.

Maklum, di rancangan turunan dari Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu, mereka yang dianggap berada dalam klaim kawasan hutan, dibilang terlanjur dan akan disuruh bayar denda.

Padahal rakyat tak pernah tahu kapan hamparan di kampungnya ditunjuk jadi kawasan hutan dan kapan hamparan itu ditetapkan.

"Kami sudah beranak pinak di kampung ini dan sejak 1994 saya sudah jadi Kaur Umum Desa Sebabi, enggak pernah satupun orang kehutanan datang untuk menata batas kawasan hutan yang diinginkan. Tapi belakangan kampung kami dibilang kawasan hutan, bahkan sampai ke pasar desa," cerita Yatok Saling Kupang kepada Gatra.com.

Mestinya kata lelaki 55 tahun ini, otoritas kehutanan punya etikalah jika mau menjadikan sebahagian hamparan di desanya jadi kawasan hutan.

"Desa kami ini punya peraturan, punya adat," rutuk warga Desa Sebabi Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Pakar hukum perhutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo sendiri tak heran lagi dengan ocehan masyarakat semacam Yastok.

Sebab bagi otoritas kehutanan, definisi dan fakta lapangan tentang kawasan hutan diartikan sangat berbeda.

"Bagi orang kehutanan, kawasan yang baru ditunjuk pun sudah dianggap sah. Padahal undang-undang mewajibkan kawasan yang ditunjuk itu musti ditatabatas dan kawasan hutan baru dianggap sah secara hukum jika sudah dikukuhkan," ujar lelaki 64 tahun ini saat berbincang dengan Gatra.com kemarin.

Terkait apa yang dialami oleh Yastok tadi kata lelaki kelahiran Banyuwangi Jawa Timur ini, pemerintah musti menyelesaikannya dengan cara menatabatas.

Kalau kemudian saat ini baru dilakukan penataan batas kata Sudarsono, itu resiko otoritas kehutanan. Sebab makin hari jumlah masyarakat dan ruang jelajahnya terus bertambah.

"Mana yang belum menjadi hak masyarakat sekarang, itulah yang bisa diambil pemerintah. Bukan memaksakan luasan saat kawasan itu pertama ditunjuk. Sebab itu tadi saya bilang, kawasan yang ditunjuk itu belum berkekuatan hukum tetap. Jangan melawan undang-undanglah," tegasnya.

Dalam penataan batas kata Sudarsono, ada istilah batas dalam dan batas luar. "Kalau hak masyarakat ada di dalam kawasan hutan yang diklaim, musti dibikin batas dalamnya, jangan diklaim," pintanya.

Lelaki ini kemudian menyodorkan bunyi Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan yang menjadi turunan dari UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Di pasal itu disebut bahwa kalau penataan batas kawasan hutan sudah temu gelang tapi masih ditemukan hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan itu ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.

"Nah, pemerintah kan tak bisa memastikan kapan masalah ini bisa diselesaikan. Jadi sebelum selesai, buat dulu pasal torpedo, pasal pengakuan sementara atas hak rakyat yang ada di dalam klaim kawasan hutan itu," katanya.

Pengakuan sementara ini menurut Sudarsono sangat penting, biar rakyat bisa mengakses sumber daya, misalnya akses mendapatkan peremajaan bagi petani sawit.

Sembari pemerintah menyelesaikan pekerjaannya, masyarakat kata Sudarsono, bisa melanjutkan hidup dan kehidupannya atas pengakuan sementara tadi.

"Jika dalam 5 tahun pemerintah belum juga bisa menyelesaikan pekerjaannya, pengakuan sementara tadi dipermanenkan saja, biar ada kepastian hukum bagi rakyat," pintanya.

Tapi kalau rakyat terus-terusan disuruh mengikuti langgam pemerintah dalam penyelesaian klaim kawasan hutan tadi kata Sudarsono, sampai kapan?

"Yang sering terjadi itu kan alasan anggaran yang membikin pekerjaan tak bisa dilakukan. Jangan menggantung-gantung rakyatlah dengan alasan itu," katanya.

Sudarsono kemudian menyarankan supaya bupati dan wali kota yang rakyatnya terpapar klaim kawasan hutan, untuk mengusulkan pasal torpedo itu.

Tapi lelaki ini buru-buru ragu tentang kemauan bupati dan wali kota itu. Soalnya dari dulu, di semua kantor bupati atau wali kota sebenarnya sudah ada bagian hukum yang tentunya punya kemampuan untuk menelaah regulasi perhutanan itu.

"Tapi sampai sekarang telaah itu enggak ada. Ada kemungkinan orang-orang di bagian hukum itu enggak mau pusing tentang nasib rakyat tadi," Sudarsono menduga.

Terkait ancaman denda yang ada dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kehutanan itu kata Sudarsono, "Dasarnya apa? Kalau proses penataan batas dilakukan dengan benar pada kawasan hutan yang sudah ditetapkan, semua hak rakyat pasti sudah terselesaikan. Terus kenapa harus muncul bahasa keterlanjuran dan denda?" dia bertanya.

Beda jika rakyat datang membabat kawasan hutan yang sudah ditetapkan, silahkan saja pemerintah membikin sanksi.

"Sanksi administrasi itu kan di hilir. Kalau misalnya rakyat yang ada di klaim kawasan hutan sudah ada sejak 1920, apa mereka harus bayar denda? Kalau ini dipaksakan, pemerintah sama saja melanggar konstitusi," tegasnya.


Abdul Aziz

533