Home Info Sawit Tungkot Sipayung: Jangan Bikin Petani Sawit Marah

Tungkot Sipayung: Jangan Bikin Petani Sawit Marah

Jakarta, Gatra.com - Thamrin Syam kembali mengurut dada setelah matanya beberapa saat memelototi android di genggamannya.

"Presiden Jokowi memuji sawit dalam Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian 2021, hari ini. Ekspor sawit naik. Tapi yang membuat saya miris, rupanya ada subsidi sampai Rp33 triliun setahun," kata lelaki 54 tahun ini sambil menunjukkan link berita yang dia baca kepada Gatra.com, Senin (11/1).

Mestinya kata lelaki asli Indragiri Hulu (Inhu), Riau ini, omongan Jokowi itu bisa menyadarkan para menteri, khususnya menteri yang selama ini tak perduli dengan petani sawit. "Jujur, kami tak pernah dapat bantuan apapun dari pemerintah. Kami bikin kebun sendiri, jalan kami rusak parah untuk mengangkut sawit pun, kami yang perbaiki sendiri," kata Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Alim Kecamatan Batangcenaku ini.

Petani kelapa sawit asal Papua Barat, Dorteus Paiki, juga sependapat dengan Thamrin. "Apa yang disebut oleh Presiden Jokowi tadi adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa sawit adalah pahlawan ekonomi Nasional," kata lelaki 58 tahun ini kepada Gatra.com.

Dan itu berarti pula kata ayah 4 anak ini, petani kelapa sawit juga menjadi pahlawan. Sebab tak kurang dari 40 persen hasil sawit yang diekspor itu milik petani sawit. "Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk menekan-nekan petani sawit dengan modus apapun, apalagi menuduh petani di dalam kawasan hutan. Sawit adalah anugerah Tuhan buat Indonesia, banyak orang di negeri lain cemburu," tegasnya.

Lantaran anugerah kata Ketua Koperasi Produsen Sawit Arfak Sejahtera ini, sepatutnya semua elemen bangsa bersyukur. "Jangan malah bangsa sendiri ikut menyerang sawit, terlebih Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jadilah pahlawan ekonomi Indonesia dengan berpihak pada petani sawit," pintanya.

Saat ini kata Sekretaris DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Papua Barat ini, ada disebut 2,73 juta hektar kebun petani sawit dalam kawasan hutan. "Berapa juta orang yang akan jadi tanggungan Bapa Presiden jika nanti semua jadi penganggur? KLHK jangan egois lah, lihat fakta dan kenyataan bahwa hutan itu sudah ditumbuhi sawit, jangan bangga dengan istilah kawasan hutan itu! Atau jangan-jangan KLHK ini sudah berubah jadi LSM pula?" Paiki bertanya.

Founder dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), DR. Ir. Tungkot Sipayung maklum dengan apa yang menjadi unek-unek Thamrin maupun Paiki. Lelaki 55 tahun ini justru sering menyebut bahwa sawit rakyat itu; anak tiri yang baik hati. Kontribusinya dalam ekspor sawit Nasional mencapai 41 persen. "Tahun lalu ada sekitar USD9 miliar kontribusi petani sawit," katanya saat berbincang dengan Gatra.com, Senin (11/1).

Angka itu kata Ketua Tim Lintas Kementerian dan Asosiasi Penyusunan Roadmap Industri Sawit Indonesia ini berasal dari pendapatan pemerintah dari ekspor sawit tahun 2020 yang mencapai lebih dari USD20 miliar. "Itu kebaikan pertama sawit rakyat. Kebaikan kedua, sawit rakyat menyumbang dana pungutan sekitar 41 persen. Kalau misalnya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana Rp15 triliun, 41 persennya berasal dari sawit rakyat," rinci Dosen Pascasarjana Universitas Tri Sakti ini.

Kebaikan ketiga, petani sawit selalu menyelesaikan persoalan sendiri, mereka juga mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain, "Ini berarti mereka berjasa mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan," tegas Tungkot.

Semua itu dilakukan petani sawit kata Tungkot, tanpa subsidi pemerintah. Tidak seperti padi sawah dan yang lain yang disubsidi pemerintah sampai Rp33 triliun setahun. "Sudahlah disubsidi, enggak bangkit-bangkit pula. tanpa disubsidi, petani sawit bisa menghasilkan benefit sebesar yang saya rinci tadi, luar biasa bukan?" katanya.

Walau petani sawit sudah begitu kata Tungkot, tetap saja mereka menjadi anak tiri. Dimana letak anak tirinya? Pertama, kebijakan pemerintah tak pernah berpihak kepada petani sawit. Di saat petani sawit berinisiatif membangun kebun sawit sendiri, mereka malah dituduh berada di kawasan hutan, merambah hutan.

"Emangnya kawasan hutan itu bukan Republik Indonesia? Republik Indonesia kan? Oleh karena itu, mestinya pemerintah menyediakan lahan bagi petani sawit, tapi itu tidak dilakukan, pemerintah lalai melakukan tugasnya. Alhasil, terjadilah kekacauan ini," katanya.

Ironisnya kata Tungkot, di saat pengusaha sesuka hati mengambil hutan jutaan hektar, giliran petani yang hanya punya 5-10 hektar, dipersoalkan. "Mereka dituduh merambah hutan, inilah yang membuat mereka diperlakukan sebagai anak tiri," ujarnya.

Dan celakanya lagi, saat petani sawit dituduh berada dikawasan hutan kata Tungkot, mereka disuruh pula harus punya sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). "Petani mau mengurus itu, tapi pemerintah harus melakukan pekerjaannya dulu. Pekerjaan pemerintah itu apa? Berikan lahan kepada mereka dengan cara menyelesaikan legalitas lahan yang ada. Sebab hanya pemerintah yang bisa menyelesaikan itu, enggak ada yang lain," katanya.

Tungkot kemudian berterimakasih kepada Presiden Jokowi yang mengakui kontribusi industri sawit, sebab dengan begitu, Jokowi juga mengakui kontribusi sawit rakyat. "Tapi mohon juga ditegur para menterinya untuk tidak diskriminatif kepada sawit rakyat itu. Kalau tidak bisa membantu apalagi mensubsidi, ya mbok jangan menyusahilah," pintanya.

Ingat, kata Tungkot. Di masa pandemi, petani sawit telah membuktikan dirinya bukan petani kaleng-kaleng. "Mereka bisa survive,tidak ada yang meminta-minta. Lihat yang di kota, berapa puluh triliun rupiah bantuan buat mereka?" Tungkot mengurai.

Jadi kata Tungkot, janganlah bikin petani sawit ini anak tiri. Sebab dengan kebaikan yang sudah dibuat, sangat pantas mereka disebut anak paling berbakti.

NGO juga kata Tungkot jangan menyusahi petani sawit. Hidup mereka bukan untuk kaya raya, tapi hanya berusaha supaya anak-anaknya menjadi generasi yang lebih baik dari orangtuanya. "Jadi, NGO bantulah petani sawit menyelesaikan legalitas lahannya, jangan justru memperkeruh suasana dengan membikin aturan-aturan yang menyulitkan petani sawit," pintanya.

Terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) kata Tungkot, tujuannya mulia, menyelesaikan persoalan, termasuk persoalan petani. "Tapi jangan dibikin Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menyulitkan dan memberatkan petani, itu kualat namanya," Tungkot mengingatkan.

Lelaki ini juga mewanti-wanti apabila masalah petani tidak diselesaikan, akan berdampak besar pada industri sawit secara keseluruhan. "Ingat, pasar internasional melihat bahwa di industri sawit itu ada 41 persen petani. Kalau tidak ada petani di sana, industri sawit akan habis digulung," ujarnya.

Lantaran itu pula, kalau masalah petani enggak selesai, "Apapun yang kita katakan soal sustainable, tidak akan didengar orang. Mereka akan bilang, kalian tak perduli dengan petani, kalian biarkan sawit rakyat. Di luar negeri, rakyat di bela, lho. Jadi, korporasi juga musti melek dengan petani sawit ini. Sebab dengan membantu petani sawit, korporasi juga akan terbantu. Sawit akan punya nama baik di internasional," katanya.

Tungkot memastikan kalau petani sawit rata-rata membeli lahan dan mengerjakan lahan eks Hak Pengusahaan Hutan (HPH). "Saya melihat sendiri di Kalimantan Timur (Kaltim). Semua yang diambil rakyat itu sudah semak-semak dan waktu itu belum ada informasi soal kawasan hutan," katanya.

Lantaran itu kata Tungkot, jangan dikambing hitamkan petani itu. "Banyak pihak mencoba mencari kambing hitam soal perusak hutan. Siapa yang mau disalahkan? apakah orang kehutanan, mereka enggak mau, korporasi, terlalu besar uangnya untuk disalahkan," sindir Tungkot.

"Saya orang yang berhutang kepada petani sawit. Sebab mereka bisa mensupport banyak hal tanpa disubsidi pemerintah, tanpa meminta-minta, tanpa menyusahkan pemerintah. Jadi, jangan bikin petani sawit marah," Tungkot mengingatkan.


Abdul Aziz

 

 

3167