Home Info Sawit Guru Besar IPB: Sekali Pukul, Rakyat Selesai...

Guru Besar IPB: Sekali Pukul, Rakyat Selesai...

Jakarta, Gatra.com - Kalau saja kebijakan penataan ruang yang disodorkan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Budi Mulyanto ini dipatuhi semua pihak, bisa jadi pemerintah tak perlu repot menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kehutanan dan perkebunan yang menjadi turunan Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) nomor 11 tahun 2020 itu.

Dan bisa jadi pula orang Indonesia tak perlu menghabiskan energi dan duit untuk menghadang ataupun meyakinkan orang asing soal kebaikan sawit dan turunannya.

Petani dan rakyat yang lain pun bisa sambil bersiul-siul mengurus legalitas tanahnya lantaran tak direcoki dan diklaim; kawasan hutan.

Sebab di paparan sebanyak tujuh lembar yang dipakai anggota tim serap aspirasi RPP ini disebutkan bahwa dari 190, 92 juta hektar luas daratan Indonesia, 72,37% adalah kawasan budidaya dan 27,63% kawasan lindung.

Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan budidaya adalah kawasan yang mempunyai fungsi utama untuk dibudidayakan.

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dan berfungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup, baik lingkungan alami maupun buatan.

Kalau ditengok dari pengertian di atas, clear dan klop sebenarnya porsi itu, sebab kawasan budidaya yang 72,37% tadi sudah sangat bisa menjadi ruang bagi orang yang terus bertumbuh, untuk beraktivitas dalam memenuhi hajat hidup dan kehidupannya.

Desa, kecamatan, kabupaten kota hingga provinsi, akan bisa leluasa berkembang. Tak akan ada yang diklaim dalam kawasan hutan.

Tapi sayang, persentase itu hanya ada dalam angan-angan dan tulisan. Sebab kenyataan di lapangan, kebijakan kawasan hutan justru menjadikan kawasan budidaya tadi; 47,1% jadi kawasan hutan dan 25,27% non kawasan hutan.

Terus, pada kawasan lindung, kebijakan kawasan hutan membuatnya menjadi; 22,73% kawasan hutan dan 4,9% non kawasan hutan.

Kalau dihitung-hitung, persentase kebijakan pada kawasan hutan tadi, sangat jomplang dengan kebijakan tata ruang. Sebab yang ada kemudian adalah; 69,83% kawasan hutan, 30,17% non kawasan hutan. Maka tak aneh jika ribuan desa dan puluhan juta hektar lahan budidaya rakyat, berada dalam klaim kawasan hutan.

Hanya saja, dari 69,83% tadi, yang benar-benar bertutupan hutan hanya 51,7%. Ada perbedaan data antara status kawasan hutan dan kenyataan hutan. "Ada sekitar 18 persen atau sekitar 35 juta hektar bedanya. Inilah yang dibilang kawan-kawan alang-alang, lahan terbuka. Inilah yang membuat kita secara ekologis tidak sehat, produktifitas hampir tidak ada," urai Budi.   

Pulau-pulau di luar Jawa dan Bali yang kemudian sangat merasakan dampak kebijakan ini. Sebab lelaki 64 tahun ini menyebut, 88,5% tanah di Jawa dan Bali sudah dibudidayakan. Sementara di Papua, kawasan yang dibudidayakan masih hanya 3,2%.

Celakanya, kebijakan kawasan hutan tadi tidak hanya berdampak pada ruang jelajah dan kebun rakyat, tapi juga pada sawah yang menjadi sumber pangan utama.

Vietnam yang luas daratannya hanya sekitar 33 juta hektar dengan penduduk lebih dari 97,3 juta jiwa (data 2020), luas sawahnya mencapai 7,8 juta hektar. Sementara Indonesia yang luas tanahnya 190 juta hektar dengan penduduk lebih dari 271 juta jiwa (data 2020), luas sawahnya malah lebih kecil, hanya 7,4 juta hektar.

"Kalau hampir semua pangan kita impor lantaran, itu terjadi lantaran struktur penggunaan lahan yang timpang tadi, inilah yang mestinya harus dijawab dengan penataan penguasaan lahan itu," ujar Budi saat didapuk menjadi pembicara dalam konfrensi pers dan diskusi lewat zoom yang digelar DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), dua malam lalu.

Kalau dipersentasekan kata Budi, lahan perkapita sawah di Vietnam mencapai 0,85%, di Indonesia hanya 0,03. "Ini sangat rendah, jangan heran kalau kita selalu kekurangan beras. Kita harus impor sekitar 2 juta ton per tahun. Itu kenapa, karena kita kekurangan sawah," tegasnya.

Di RPP kehutanan dan perkebunan yang bakal segera diteken itu, sengkarut tanah yang terjadi, seolah-olah ulah rakyat yang main serobot atas tanah. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah, kebijakan penataan ruang telah dikangkangi oleh kebijakan kawasan hutan.

"Persoalan kunci untuk bisa melaksanakan amanah UUCK dengan baik adalah menyelesaikan masalah pertanahan. Kalau urusan pertanahan beres, yang lain bisa diberesi dengan baik," ujar Budi.

Biar persoalan tanah ini beres kata Budi, hak atas tanah (HGU, HM, HGB, hak ulayat masyarakat hukum adat dan berbagai alas hak lain) harus dikeluarkan dari 'Kawasan Hutan', terlebih 'kawasan hutan' saat ini sebagian besar didasarkan pada penunjukan.

Antar institusi pemerintah musti saling menghormati dan mengakui, tidak menjadikan pelaku usaha sebagai objek kesalahan. "Misalnya rakyat sudah punya Surat Keterangan Tanah (SKT), akui itu. Sebab SKT itu hasil kerja pemerintah juga, jangan selalu beranggapan kalau pemerintah itu hanya pusat saja. Negara ini luas," ujarnya.

Kalaupun ada sanksi administrasi kata Budi seharusnya itu musti jadi pendorong pembinaan (affirmatif) untuk melanjutkan dan meningkatkan usaha, bukan mematikan usaha. "Jika RPP mematikan usaha, ini akan memicu persoalan sosial," Budi mengingatkan.

Terkait denda dengan alasan demi memenuhi pundi-pundi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) kata Budi, "Sekali pukul, rakyat selesai. Masalah baru akan muncul. Tapi kalau dilakukan pembinaan, pendapatan pajak akan membengkak lantaran rakyat dikasi peluang dan dibina untuk berusaha. Ingat, rakyat ini sangat patuh membayar pajak, apalagi kalau usahanya lancar," ujarnya.


Abdul Aziz

 

32293