Home Ekonomi Survei: Konsumen Indonesia Minta Edukasi dan Regulasi HPTL

Survei: Konsumen Indonesia Minta Edukasi dan Regulasi HPTL

Jakarta, Gatra.com – Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti menyelenggarakan diskusi daring dan bedah riset bertajuk “Persepsi Konsumen di Indonesia terhadap Penggunaan Rokok Elektrik” pada Kamis, 21 Januari 2021.

Diskusi yang beranjak dari hasil survei Multi-country Vaping Research oleh Health Diplomats dan Kantar itu menghadirkan beberapa narasumber. Di antaranya Kepala Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah; Koordinator Bidang Pengawasan Produk Hasil Pertanian, Kimia, dan Aneka, Kementerian Perdagangan Amiruddin Sagala; dan Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian Mogadishu Djati Ertanto.

Bedah riset tersebut menghasilkan tiga kesimpulan. Pertama, perokok dewasa di Indonesia menggunakan rokok elektrik (vape) sebagai alat bantu untuk mengurangi konsumsi rokok konvensional. Kedua, edukasi terkait jenis dan profil risiko tiap produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) perlu dilakukan secara berkelanjutan. Ketiga, dibutuhkan regulasi yang jelas untuk melindungi konsumen terutama terkait standardisasi produk dan pencegahan produk ilegal.

“Regulasinya (HPTL) harus tersendiri. Namun, sampai hari ini memang produksinya masih relatif kecil. Kalau idealnya, harusnya dibuat aturan tersendiri yang terpisah dari peraturan produk tembakau konvensional,” kata Trubus dalam penjelasan persnya.

Hasil riset menunjukkan, responden di Indonesia mulai menggunakan rokok elektrik sebagai upaya intervensi kesehatan seperti: membantu mengurangi konsumsi rokok (30%), alasan kesehatan (11%), dan mengikuti anjuran ahli kesehatan (9%). Lebih jauh, sebanyak 80% responden menilai bahwa promosi HPTL sebagai alternatif tembakau harus lebih digalakkan.

Meski demikian, sejumlah responden di Indonesia masih menganggap konsumsi nikotin lewat produk HPTL memiliki risiko yang sama dengan proses pembakaran pada rokok konvensional. Padahal, variasi produk HPTL tidak menghasilkan ta atau bahan kimia yang muncul dari proses pembakaran. Dalam hal ini, edukasi yang tepat mengenai manfaat dan profil risiko HPTL yang lebih rendah seperti: vape, tembakau yang dipanaskan (HTP), snus dan kantong nikotin, menjadi sangat dibutuhkan.

Regulasi Perlindungan Konsumen

Menurut survei yang sama, separuh responden (50%) mengindikasikan adanya kekhawatiran terhadap potensi kandungan bahan ilegal sebagai penyebab timbulnya risiko kesehatan. Adapun sebanyak 90% responden percaya jika vape seharusnya tersedia di pasaran sebagai pilihan alternatif bagi perokok konvensional. Oleh karenanya hal tersebut membutuhkan regulasi yang tepat.

“Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Kedua, konsumen memiliki hak untuk memilih serta mendapatkan barang atau jasa. Ketiga, konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang atau jasa,” ujar Amiruddin.

Ia turut menggarisbawahi Pasal 4 dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang hak konsumen. Selain itu, Amiruddin juga mengurai tentang rumitnya persoalan rokok dan HPTL, “Memang kita harus duduk bersama, dari swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan pemerintahan. Bagaimana suatu solusi yang tepat, membuatkan suatu regulasi, agar kedua belah pihak saling menguntungkan. Paling tidak, bisa meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan. Saat ini, produk HPTL semakin diminati oleh pasar,” katanya.

Tercatat pada 2020, pengguna vape di Indonesia telah mencapai 2,2 juta orang dengan jumlah toko ritel mencapai 5.000. Oleh karenanya dibutuhkan regulasi untuk meningkatkan kepercayaan publik akan kualitas produk melalui standardisasi.

“Saat ini Kemenperin telah menyelesaikan konsensus SNI Hasil Tembakau Dipanaskan (HTP) yang mana saat ini baru saja melalui tahap jajak pendapat. Kementerian Perindustrian juga mengusulkan penyusunan RSNI E-liquid di tahun 2021,” ujar Mogadishu saat pemaparan tentang Outlook Standardisasi HPTL 2021.

“Untuk menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) kami tentu wajib sangat berhati-hati. Dari ratusan jenis produk makanan dan minuman, kami hanya terapkan enam SNI wajib. Karena hal ini (SNI wajib) akan berlaku untuk produk impor maupun dalam negeri, industri kecil maupun industri besar. Jadi kami selekif sekali untuk menetapkan SNI wajib, jangan sampai itu menjadi senjata makan tuan,” pungkasnya.

326