Home Hukum Minibus Law untuk Mengubah Nasib Masyarakat Adat

Minibus Law untuk Mengubah Nasib Masyarakat Adat

Jakarta, Gatra.com - Peneliti dari Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (PUSTAKA), R. Yando Zakaria, berpendapat, perlu sebuah minibus law jika ingin mengubah nasib masyarakat adat atau masyarakat hukum adat di Indonesia.

"Kita perlu sebuah minibus law yang isinya mencabut Pasal 67 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lalu cabut pula Pasal 109 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa," kata Yando dalam diskusi virtual bertajuk "Hutan, Masyarakat Adat, Hukum, dan HAM" gelaran LP3ES pada Rabu (27/1).

Dalam diskusi ke-13 Forum100 Ilmuwan Sosial Politik LP3ES ini, Yando melanjutkan, selain harus mencabut pasal-pasal di atas, juga patut untuk memastikan bahwa RPP sektor pertanahan menganulir kerangka hukum yang digunakan Perpres No. 71 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang mengikuti logika sesat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Kemudian, perlu untuk mempercepat penetapan undang-undang tentang Pengakuan dan Pelindungan Hak Masyarakat Adat dengan merombak total Draft RUU yang saat ini tengah dibahas DPR. Karena realitas hukum di Indonesia saat ini, bukannya mengakui hak masyarakat adat, malah justru menyingkirkan pengakuan tersebut.

Menurutnya, minibus law diperlukan karena meskipun saat ini sudah ada sekitar 150 desa adat di Tanah Air yang ditetapkan di tingkat kabupaten, di antaranya Lebak, Provinsi Banten; Indragiri Hulu dan Siak, Provinsi Riau; serta Jayapura, Provinsi Papua; ternyata belum efektif.

Selain belum efektif, ujar Yando, implikasinya terhadap hak atas tanah dan hutan karena keseluruhan desa tersebut ditetapkan sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1 Tahu 2017 tentang Penataan Desa. Karenanya, ini dianggap belum sesuai dengan peraturan yang dimaksud sehingga belum bisa diregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Sementara itu, Yance Arizona dari Leiden University, mengungkapkan, berbicara soal hutan di Indonesia, maka tidak bicara tentang vegetasi. Sebab, di beberapa tempat kawasan hutan tidak memiliki pohon. Itu terjadi karena pada masa lalu ada klaim dari pemerintah kolonial untuk tanah milik negara yang dibagi-bagi ke dalam beberapa register.

Selain itu, kata dia, ada pembatasan untuk masyarakat dalam mengakses kawasan hutan tersebut. Tetapi praktik ideologi kehutanan tersebut tidak juga berubah. Terlebih terdapat dualisme administrasi pertanahan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian ATR.

"Belum lagi terkait dengan putusan MK 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan lagu hutan negara. Tetapi kenyataannya, negara tidak tinggal diam dengan putusan tersebut," ungkapnya.

Ia mencontohkan, di Pulau Sumatera, RGE menguasai 1,2 juta hektare untuk pulpwood. Padahal, di wilayah itu sudah ada petani kemenyan (Pandumaan-Sipituhuta) yang sudah selama 300 tahun tinggal di daerah tersebut.

Selanjutnya, pada tahun 1980-an, PT IIU menerima konsesi kehutanan dan terus melakukan eksploitasi di hutan kemenyan tersebut hingga tahun 2000 dan digantikan oleh PT TPL. Akibatnya, terjadi kekerasan dan kriminalisasi pada 2009 dan 2013.

Masyarakat adat tersebut pun diundang ke Istana Negara pada tahun 2016 dan menerima alokasi seluas 5.172 hektare dari konsesi PT TPL untuk menjadi wilayah hutan adat. Tetapi, untuk memperoleh alokasi tersebut, masyarakat adat di sana harus ditetapkan secara resmi menjadi masyarakat adat.

Belum selesai penetapan atas persoalan tersebut, ternyata tanah yang akan dialokasikan itu sudah ditetapkan untuk mendukung ketahanan pangan di wilayah Sumatera Utara (Sumut). Penetapan ini dilakukan secara sepihak tanpa persetejuan Masyararakat Hukum Adat Pandumaan-Sipituhuta.

"Studi kasus tersebut mencerminkan bagaimana masyarakat hukum adat harus melalui labirin untuk memperoleh pengakuan atas hak masyarakat hukum adat," ujarnya.

Guru Besar Universitas Al-Azhar Indonesia, Agus Surnono, yang menjadi pembicara terakhir, mengungkapkan bahwa dalam regulasi yang idealnya mengakui hak-hak masyarakat hukum adat, setidaknya harus memiliki beberapa unsur-unsur masyarakat hukum adat yang sekaligus seharusnya menjadi substansi inti RUU Masyarakat Hukum Adat.

Menurutnya, unsur tersebut yakni terdapat masyarakat yang teratur, menempati suatu wilayah tertentu, terdapat kelembagaan, memiliki kekayaan bersama, susunan masyarakat berdasarkan pertalian darah atau lingkungan daerah, serta hidup secara komunal dan gotong royong.

RUU Masyarakat Hukum Adat yang merupakan salah satu amanat reformasi dan menjadi agenda program legislasi nasional (Prolegnas) di DPR RI, perlu didorong agar dapat diselesaikan pada tahun 2021 dan tidak boleh diabaikan dengan agenda penyelesaian RPP oleh pemerintah atas turunan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

455