Home Hukum Polri Dimita Tak Kedepankan Pidana dalam Merespons Kritik

Polri Dimita Tak Kedepankan Pidana dalam Merespons Kritik

Jakarta, Gatra.com - Ketua Forum 4 De Fakto, Malik Feri Kusuma, mengatakan, pada era demokrasi polisi harus lebih bijaksana dalam merespons berbagai kritik dari masyarakat dan tidak mengedepankan pemidanaan dalam menghadapinya.

Malik menyampaikan pandangan tersebut dalam webinar seri ke-15 Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik LP3ES pada Rabu (3/2). Menurutnya, langkah tersebut supaya institusi Polri menjadi lebih baik.

Ia melanjutkan, selama pandemi Covid-19 ini, upaya-upaya Kepolisian sudah menunjukan pelayanan terhadap publik walaupun dari segi penegakan hukum masih ada beberapa kasus yang bertolak belakang dari pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk membangun citra Polri yang positif di masyarakat, pelayanan menjadi hal yang krusial.

Sedangkan salah satu isu kepolisian yang sering dipermasalahkan oleh masyarakat, adalah penggunaan praktik penyiksaan dalam proses penangkapan dan penyidikan. Praktik tersebut perlu untuk dihilangkan, karena menurut catatan KontraS, sering sekali terjadi Polres dan Polsek.

Kemudian, dalam konteks pengendalian massa aksi. Sering ditemukan dalam proses pendampingan aksi protes, misalnya dalam isu penolakan UU Cipta Kerja, itu juga menggunakan kekuataan yang dianggap masyarakat berlebihan.

Sementara itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), M. Haripin, memaparkan empat aktivitas polisi yang berlangsung selama era demokrasi terkait dengan korupsi. Pertama, invitational edge yang memanfaatkan wewenang atau diskresi yang dimilikinya untuk memungut atau menerima uang tidak sah dari pihak lain.

Kedua, slippery slope yang mengacu pada pungutan kecil-kecilan, sporadis termaksud gratifikasi, sogokan dan hasiah. Ketiga, noble cause di mana Polisi menerika uang tidak sah untuk keperluan "baik", misalnya bensin dalam kegiatan patroli, konsumsi personel, dan lain-lain.

Keempat, predatory policing yang mengacu pada penggelapan, pencurian, penyelewengan wewenang secara sistematis dan menerima suap demi memperkaya diri sendiri, atasan, patron, dan lain-lain. Lalu, Haripin juga menyinggung terkait dengan rivalitas Polri dan TNI, dari tahun 1999-2015 ada 421 bentrokan dengan 60 personil yang tewas.

Lebih lanjut Haripin, mengungkapkan bahwa ada pula political activism yang melibatkan Polri. Ada dua tipe aktivisme politik Polri. Pertama, berdasarkan kepentingan institusional yang dilakukan untuk membangun atau mempertahankan soliditas internal, menangkal ancaman, tekanan, atau gangguan dari aktor eksternal, mengimbangi kekuatan aktor keamanan dan penegak hukum lain.

"Contoh kasusnya terdapat dalam Cicak Vs. Buaya, perdebatan soal RUU Keamanan Nasional, Penempatan perwira dalam pos-pos strategis, dan kekerasan dan intimidasi terhadap aktor penegak hukum lain," ujarnya.

Kedua, berdasarkan pertahan rezim yang dilakukan karena adanya relasi patron-klien antara elite partai dan polisi, penilaian bahwa pemerintahan rezim sama dengan pertahanan polisi dalam melawan oposisi, insentif elektoral dan keuntungan ekonomi-politik.

"Contohnya terdapat dalam kasus kriminalisasi terhadap aktivis atau pembela HAM & jurnalis, delegitimasi oposisi dan tokoh di luar pemerintah atau bekas pejabat, operasi siber dan pengerahan buzzer, dan lain-lain," ungkapnya.

Sedangkan Direktur Imparsial, Al Araf, menyampaikan bahwa perspektif keamanan di Indonesia dewasa ini cenderung bersifat keamanan negara dan bukan keamanan manusia.

Dalam konteks keamanan di era demokrasi, terhadap penolakan terhadap pembatasan HAM dan martabat manusia. Faktor inilah yag dalam beberapa kasus dilanggar oleh Kepolisian.

Menurutnya, dinamika Polri sangat tergantung dari arah tujuan politik negara dalam membangun keamanan dan demokrasi. Dinamika politik yang berkembang di Indonesia sangat memengaruhi dinamika dalam Polri.

"Jika arah dan tujuan politik negara membangun keamanan yang demokratis, maka reformasi Polri penting mengedepankan rule of law dan penghormatan HAM dalam mendorong reformasi Polri," ujarnya.

Faktanya, ungkap Al Araf, kecenderungan politik negara selama ini mengarah pada demokrasi militan yang dapat diamati dari pengaturan beberapa regulasi dan praktik kekuasaan yang membatasi HAM dan tidak sejalan dengan prinsip negara hukum.

116