Home Ekonomi RPP Dinilai Berpotensi Matikan Idustri Pelayaran Nasional

RPP Dinilai Berpotensi Matikan Idustri Pelayaran Nasional

Jakarta, Gatra.com – Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai bahwa Pasal 44 dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyelenggaraan Pelayaran yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, berpotensi mematikan industri pelayaran nasional.

Agus dalam webinar bertajuk "Dampak Kebijakan Kelautan Kepada Industri Pelayaran Nasional" pada Kamis (4/2), mengungkapkan, Pasal 44 RPP mengenai agen umum dan pemilik kapal tersebut sangat aneh.

"Ada yang tidak berimbang, namun bisnisnya disatukan dan dibolehkan untuk bersaing, hal ini yang agak repot," ungkapnya.

Padahal, lanjut Agus, keagenan dan kepemilikan kapal merupakan dua sektor bisnis yang tidak imbang. Menurutnya, agen tidak perlu memiliki kapal, pekerja yang sangat bayak, dan berbagai hal penunjang operasi pelayaran lainnya.

Agen cukup mempunyai kantor yang kecil karena usahanya hanya bersifat administrasi. Sementara itu, perusahaan pelayaran berlaku sebaliknya, yakni harus mempunyai kapal, kru, dan berbagai sumber daya penunjang lainnnya.

Menurut Agus, dalam RPP yang akan dikeluarkan tersebut, pemerintah malah siap memberikan agen kewenangan bisa ikut mencari muatan kapal. Ketentuan ini tentinya menjadikan agen bisa menjadi calo atau broker bagi kapal asing.

"Bagaimana kita bisa mengembangkan industri pelayaran, jika regulasinya tidak mendukung," kata Agus dalam webinar gelaran channel9.id ini.

Atas dasar itu, Agus meminta pemerintah untuk meninja kembali RPP tersebut, khususnya pasal-pasal yang menimbulkan usaha yang tidak sehat. Ia berpendapat bahwa RPP harus mendudukan agen seperti sebelumnya, yakni tidak boleh mencari muatan, atau memperluas kegiatan usaha pelayaran melalui keagenan (broker).

Adapun peraturan pemerintah sebelumnya, membatasi kegiatan usaha keagenan pada perusahaan khusus yang bergerak dalam bisnis kapal. Dalam belied baru, perusahaan keagenan umum dapat melakukan kegiatan usaha perkapalan.

Pandangan serupa juga disampaikan pengamat industri pelayaran dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Tri Achmadi. RPP tersebut akan memicu persaingan tidak sehat di sektor industri pelayaran Tanah Air.

Menurutnya, hal itu berpotensi terjadi karena bleid menyatukan dua model bisnis berlainan entitas ke dalam satu bidang. Negara seharusnya melihat transportasi sebagai infrastruktur sehingga harus membuat aturan dan kebijakan, bukan menyerahkannya ke pasar bebas (free market).

"Fungsi infrastruktur tidak berubah menjadi fungsi pertarungan pasar, jangan sampai kebijakan yang dibuat tersebut membuat pasar semakin bebas tidak terkendali," ujar Tri.

Menurutnya, keagenan hanya beroritentasi mencari keuntungan. Fungsi angkutan laut sebagai penghubung atau konektivitas antarkepulauan menjadi hilang. Lantaran regulasi yang tidak mengikuti persyaratan-persyaratan persaingan usaha yang tidak sehat.

Lebih jauh Tri menyampaikan bahwa institusi yang membahas regulasi harus benar-benar memperhatikan aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan mengenai persaingan usaha yang sehat.

Adapun yang selalu menjadi benturanya adalah antara regulasi dan market, namun sebenarnya tidak terlalu relevan dalam industri angkutan laut. "Tidak bisa atas nama pasar bebas tidak bisa semua orang bisa masuk ke semua sektor, marketnya harus dilihat, terutama dalam industri angkutan laut yang memiliki fungsi strategis," ujarnya.

Sementara itu, pakar hukum tata negara, Margarita Kamis, yang menjadi pembicara terakhir, menyampaikan, RPP Penyelenggaraan Pelayaran ini tidak lepas dari UU Cipta Kerja yang proses legislasinya sangat amburadul.

Menurut Margarito, Pasal 14 A UU Cipa Kerja memperbolehkan kapal asing masuk dan beroperasi di Indonesia, selama Indonesia belum memiliki moda transportasi seperi kapal asing tersebut. Meskipun di pasal ini tidak mengatur soal keagenan, namun pasal lain mengaturnya.

"Jika kita melihat UU ini dalam konteks penyusunan RPP ada masalah besar yang kita hadapi dalam mengelola sumber daya alam kita, yakni persoalan nasional interest atau kepentingan nasional, termasuk dalam mengatur industri angkutan laut," ujarnya.

308