Home Gaya Hidup Pengorbanan di Toraja Bukan soal Konversi Warisan

Pengorbanan di Toraja Bukan soal Konversi Warisan

Jakarta, Gatra.com - Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan (UBT), Dr. Marthen B. Salinding, mengatakan, terjadi pergeseran tujuan pemberian pengorbanan berupa kerbau atau babi untuk pelaksanaan rambu solo, upacara kematian pewaris atau orang tua. Awalnya, pemberian itu terkait ma'rinding, yakni harta warisan yang akan didapat dari pengorbanan tersebut.

Marthen dalam webinar bertajuk "Hukum Waris" gelaran Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia pada Sabtu (6/2), menjelaskan, pemberian waris dalam masyarakat Toraja bisa dilakukan sebelum atau sesudah orang tua atau pewaris meninggal dunia.

Adapun ma'rinding, yakni pemberian warisan kepada ahli waris setelah ahli waris memberikan pengorbanan kepada pewaris, misalnya kerbau atau babi untuk rambu solo atau upacarakematian pewaris. Ma'rinding dilaksanakan setelah pewaris meninggal dunia.

Pada awalnya dan saat ini masih berlaku di sebagian kampung di Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel), ungkap Marthen, jumlah atau nilai pengorbanan berupa kerbau atau babi untuk upacara kematian pewaris, itu akan dikonversikan pada jumlah harta warisan yang akan didapat.

"Sekarang sudah alami pergeseran, bahwa ketika pesta dengan pengorbanan seperti ini, sebagai pengabdian kepada orang tua, bukan lagi untuk mengejar berapa yang nanti harta waris yang akan didapatkan, tapi pengabdian kepada orang tua dan menaikkan harkat dan derajat keluga di tengah masyarakat," ujarnya.

Akademisi asal Toraja ini menjelaskan bahwa sukunya sangat memelihara adat istiadat leluhur meskipun nan jauh di perantauan dalam waktu cukup lama. Salah satu bentuknya, yakni menjalankan hukum waris sesuai ketentuan adat.

"Berbicara sistem kewarisan, maka harus berbicara dulu sistem kekerabatan karena sistem warisan yang dianut oleh satu kelompok masyarakat, tentunya dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang dianut," ujarnya.

Masyarakat Toraja menganut sistem kekerabatan parental atau bilateral. Dalam sistem ini, kedudukan perempuan dan laki-laki sama. "Ketika perempuan dinikahi oleh pria maka dia masuk dalam kelurga suami, begitu juga sebaliknya," kata dia.

Adapun sistem waris yang dianut masyarakat adat Toraja ada tiga, yakni kewarisan individual, kolektif, dan mayorat. Anak laki-laki dan perempuan yang lahir dari hasil perkawinan yang sah secara adat, mempunyai hak yang sama pada harta waris orang tuanya. "Tidak pandang laki-laki atau perempuan," ungkapnya.

Marthen juga menjelaskan bahwa istri bukan ahli waris dari suami dan sebaliknya, sehingga jika seorang duda kaya menikah dengan seorang perempuan, maka perempuan itu tidak bisa mendapatkan harta waris dari duda tersebut.

"Dia [perempuan] hanya menikmati, tapi semua harta si duda tadi akan menjadi warisan kepada anak yang lahir dari perkawinan sebelumnya.Kemudian, kalau ada harta yang didapat setelah pernikahan, itu akan didapatkan oleh anak dari hasil perkawinan kedua itu," katanya.

3094