Home Info Sawit Pakar IPB: Belanda Mengakui, Masak Bangsa Sendiri Enggak?

Pakar IPB: Belanda Mengakui, Masak Bangsa Sendiri Enggak?

Jakarta, Gatra.com - Lelaki 64 tahun ini nampak bersemangat mengurai kembali soal sengkarut kawasan hutan yang terjadi belakangan saat menjadi pembicara dalam diskusi online #LetsTalkAboutPalmOil yang dipandu oleh Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Togar Sitanggang, tadi sore.   

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini bilang bahwa hak-hak atas tanah yang sudah dilengkapi legalitas yang dikeluarkan oleh pemerintah, jangan dimasukkan ke dalam kawasan hutan. "Kepala Desa juga pemerintah, kalau dia sudah mengeluarkan legalitas hak, mestinya dihargai," kata Prof Budi Mulyanto. 

Bagi anggota Tim Serap Aspirasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) ini, hak atas tanah adalah final, sebab sudah mengikuti perundangan dan melibatkan instansi terkait. 

"Dari jaman belanda, hak-hak pribumi itu diakui, namanya Indonesisch bezitsrecht. Maknanya apa? Maknanya adalah bahwa hak atas tanah masyarakat pada jaman penjajahan diakui. Karena itu hak azasi manusia, sudah selayaknya hak atas tanah masyarakat itu diakui dan dihargai. Masak  setelah merdeka, menjadi bangsa, mempunyai negara yang diperintah oleh bangsa sendiri hak atas tanah itu malah enggak diakui. Kita harus ingat, yang memperjuangkan dan yang membangun NKRI ini adalah rakyat Indonesia, janganlah mereka enggak dihargai," pinta Budi tegas.

Tentang Hak Atas Tanah kata Budi sudah ada sejak jaman Belanda, misalnya Hak Erfpacht yang  setelah Indonesia punya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Bahkan hak ulayat masyarakat hukum adat (Beschikkingsrecht) pun diakui dan dihormati meski tidak didaftar.

Legalitas usaha yang diterbitkan oleh unsur-unsur pemerintah kata Budi, harusnya saling diakui dan dihargai oleh lintas kelembagaan, jangan malah petani, pemilik usaha, yang sesungguhnya rakyat Indonesia, dijadikan objek kesalahan. 

"HGU misalnya, masak diklaim sebagai kawasan hutan? Enggak logis ini. Mestinya dengan UUCK berikut PP-nya, Hak Atas Tanah (Right) segera diperjelas legalitasnya, peraturan-peraturan (Ristriction) yang harus diikuti saat menggunakan hak itu juga diperjelas, termasuk kejelasan tanggungjawab (Responsibility) pemegang hak," Budi merinci. 

Sebab kalau 3R itu sudah jelas, negara c/q pemerintah kata Budi akan bisa membuka dan menumbuhkembangkan lapangan kerja, dengan begitu jumlah pengangguran akan bisa ditekan. 

Masyarakat pun bisa bekerja nyaman, kalau sudah nyaman bekerja, produktivitas lahan akan bisa ditingkatkan. Kegiatan usaha yang berjalan nyaman pun akan membikin ekonomi berputar dinamis, investasi meningkat, pendapatan Domestik Bruto (PDB) akan bisa dikembangkan. 

Terus, industri akan tetap berjalan, ekspor terjaga dan neraca perdagangan RI akan tetap positif.  "Kampanye negatif terhadap produk ekspor Indonesia juga akan mereda. Penerimaan pajak bisa ditingkatkan; kondisi stabilitas sosial-keamanan terkendali," Budi mengurai. 

Semua itu kata dia akan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat makmur dan sejahtera. "Jangan gara-gara tak singkronnya komunikasi antara pusat dan daerah terkait tata ruang, rakyat dan pelaku usaha dikorbankan," ujarnya.  

Kalau saja penataan kawasan hutan itu dijalankan sesuai dengan pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan beserta Putusan MK 35 tahun 2012 dan Putusan MK 45 tahun 2011, sengkarut kawasan hutan kata Budi tidak akan terjadi seperti saat ini. Sebab di undang-undang itu sudah diatur dengan jelas bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui empat tahapan. 

Tahapan penataan batas menjadi tahapan yang paling penting, dan harus dilakukan bersama-sama masyarakat dalam menentukan batas, karena batas itu harus disetujui oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie

"Kalau pemerintah mau membatas kawasan hutan, rakyat sekitar dan yang ada di dalam hutan musti dilibatkan, biar bisa didapat garis batas yang sama-sama diakui kedua pihak, dengan begitu, legitimasinya akan tinggi" katanya. 

"Tujuan UUCK itu sangat mulia, tapi lantaran kita sudah terlalu lama terbelenggu oleh peraturan mutual exclusive, menjadi enggak gampang untuk memahami tujuan UUCK itu," Budi menyayangkan. 

Budi kemudian mengulik soal RPP terkait UUCK tadi. Bahwa demi menjalankan UUCK itu, ada 40 RPP yang disiapkan termasuk 4 Perpres. "Ada 79 UU yang diharmonisasi dalam UUCK itu. Tujuan utamanya menciptakan lapangan kerja," katanya. 

Dari sederet RPP tadi kata Budi, 7 diantaranya berkaitan langsung dengan usaha sawit dan lima berkaitan dengan tanah.  Ada RPP tentang; Pertanian, Penertiban kawasan dan tanah terlantar, Kehutanan, Penyelesaian  Ketidaksesuaian antar Tata Ruang dan kawasan hutan dan atau hak atas tanah, Tata Cara Pengenaan Sanksi Denda Administrasi dan Penerimaan PNBP. 


Abdul Aziz
 

16971