Home Info Sawit Pakar: 65% Petani Jadi Korban PP Ini

Pakar: 65% Petani Jadi Korban PP Ini

Jakarta, Gatra.com - Pakar hukum kehutanan, Dr. Sadino mengklaim kalau Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan PP nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, telah membangkitkan rakyat untuk berperkara dengan Negara.

Sebab menurut dia, sederet pasal di PP itu telah mengangkangi hukum dan itu harus dijalani oleh rakyat demi mendapatkan haknya, termasuk membayar denda atas nama keterlanjuran.

"Memang tidak ada lagi yang namanya sanksi pidana. Meski begitu, 65% yang menjadi korban dalam PP itu tetap saja rakyat," kata Sadino saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin. 

Mestinya kata bekas Ketua Tim Penyusunan Kajian Hukum Pidana Pada Pengelolaan Hutan di Indonesia Tahun 2002-2003 ini, PP menghormati hak konstitusional warga negara (hak atas tanah).

Baca juga: RJR: Ini Namanya PP Kematian Sawit Rakyat

"Kalau hak atas tanah itu dihormati sebagai bagian dari implementasi putusan MK 34 tahun 2011, sebenarnya dari 3,4 juta hektar lahan yang disebut berada dalam kawasan hutan itu, minimal 1,6 juta hektar sudah terselesaikan," ujarnya.

Tapi itu tadilah kata Sadino, negara tidak pernah memikirkan living law (hukum yang hidup) yang ada di masyarakat. Padahal living law itu lebih tinggi dari hukum Negara.

Anggota Tim Penyusun Buku Panduan Penegakan Hukum Kehutanan Dengan Pendekatan Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2005-2006 ini menegaskan, bahwa protes atas PP ini bukan melulu demi sawit, tapi justru oleh hak konstitusional rakyat yang selama ini terbelenggu.

Kalaulah negara selama ini mengikuti kaidah hukum kehutanan dalam menata hutan kata Sadino, sengkarut kawasan hutan tidak akan pernah terjadi.

"Dari tahun 2011 Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memerintahkan supaya kawasan hutan yang masih penunjukan, segera dikukuhkan, tapi itu tidak dilakukan. Sekarang, giliran semuanya kacau, rakyat yang jadi korban," ujarnya.

Bukti rakyat menjadi korban itu kata penulis buku Problematika Penegakan Hukum Pidana Pada Pengelolaan Hutan di Indonesia ini adalah bahwa di PP itu, pemerintah memakai kata sebelum ditunjuk dan sesudah ditunjuk dalam menentukan kawasan hutan.

"Ini salah besar dan fatal. Selain negara mengangkangi hukum, PP ini akan memunculkan ruang perdebatan hukum dan menafsirkan hukum di masyarakat. Padahal sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang levelnya sama dengan Undang-Undang. Penunjukan di tahun mana yang akan dipakai?"lelaki 55 tahun ini bertanya.

Soalnya kata lelaki kelahiran Klaten Jawa Tengah ini, penunjukan awal kawasan hutan di semua provinsi di Indonesia dimulai sejak tahun 1982 hingga 1986.

Selanjutnya, ada lagi beberapa revisi sesuai SK Menteri terkait penunjukan kawasan hutan dan juga penetapan kawasan hutan.

Di Riau misalnya, penunjukan kawasan hutan terakhir dilakukan pada 2016. "Ini yang mana mau dipakai?" Sadino kembali bertanya. "Ini mengakibatkan ruang untuk menafsirkan hukum secara suka-suka dan sepihak oleh pemerintah," tambahnya.

PP yang hadir sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) ini kata Sadino adalah produk hukum. Mestinya didasari oleh hukum juga, bukan suka-suka.

Putusan MK nomor 45 tahun 2011 jelas-jelas sudah memutuskan bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang sudah dikukuhkan. Sebab kawasan hutan yang sudah dikukuhkan itulah yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

"Putusan MK itu bukan berjalan mundur. Kalau masih penunjukan, bukan kawasan hutan namanya," tegas Sadino yang jadi ahli hukum kehutanan pada persidangan Mahkamah Konstitusi dengan pemohon 5 Bupati dan 1 orang swasta di Kalimantan Tengah (Kalteng) ini.

Nah, kalau PP dengan embel-embel sebelum dan sesudah ditunjuk itu dipaksakan, maka akan ada inventarisasi, verifikasi dan klarifikasi yang menghasilkan keruwetan implementasinya di lapangan, dan yang terdampak dari penerapan PP akan melakukan perlawanan secara hukum.

Rakyat yang kena inventarisasi dan verifikasi, dia akan melakukan klarifikasi dan bertanya; saya kena di mana dan penunjukan saat kapan?

Klarifikasi itu sangat penting lantaran di ujungnya ada denda yang tak sedikit sedang menunggu dan berpotensi hak konstitusionalnya dirampas oleh PP, padahal hak konstitusional seperti hak atas tanah dan hak privat lainnya dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.

"Data inventarisasi dan verifikasi itu kan produk Aparatur Sipil Negara (ASN). Kalau enggak cocok datanya, enggak jelas kapan penunjukannya, rakyat bisa menggugat. Sebab produk pekerjaan ASN itu adalah berupa putusan tertulis, maka menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara untuk menguji kebenarannya," katanya.

Apabila kerja yang dihasilkan ASN dalam bentuk surat atau putusan pejabat ASN kata Sadino, mau tak mau, sengketa akan terjadi dan ini akan berlangsung lama. Alhasil, cita-cita UUCK enggak akan pernah tercapai lantaran yang ada hanya berantem.

"Sebab itu tadi, inventarisasi dan verikasi itu berkaitan dengan sanksi denda. Rakyat enggak mau langsung membayar, pasti mengajukan keberatan dulu. Minta penjelasan dan memberikan tanggapan. Kalau keberatan tidak diterima, masyarakat bisa menggugat sesuai waktu yang tersedia. Kalau enggak selesai, bisa langsung gugat ke PTUN," ujarnya.

Lantaran dasar yang dipakai dalam kawasan hutan itu hanya penunjukan kata Sadino, posisi pemerintah lemah. Sebab itu tadi, penunjukan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

"Itu juga makanya saya bilang, kalau ada petugas memasang plank kebun ilegal di kawasan hutan yang masih dalam status penunjukan, petugas itu bisa digugat ke PTUN," tegasnya.

Lagi-lagi Sadino kembali mengulas tujuan Presiden Jokowi menggagas UUCK yang sudah disahkan November tahun lalu itu.

"Tujuan UUCK itu kan mempermudah, mensinkronkan regulasi, membuka investasi, meningkatkan jumlah orang bekerja. Kalau begini ceritanya, mana cukup tiga tahun memberesi kawasan hutan. Enggak sesuai UUCK jadinya. Sebab isi PP itu bukan produk hukum, tapi ego!" ujarnya.

Sadino mengaku, sebenarnya isi draf RPP dan PP sangat beda jauh. Itulah makanya Sadino sempat menyebut gimana mau mengawal pasal-pasal itu agar tidak melanggar hak konstitusional masyarakat dan sesuai keinginan Presiden kalau antara draf dan finalnya saja sudah beda.

Masih RPP saja, Sadino sudah mewanti-wanti bahwa kelak jadi PP, aturan itu akan membangunkan masyarakat untuk bersengketa dengan pemerintah.

"Harusnya masyarakat dibantu, dipermudah, supaya rakyat punya hak. Supaya bisa ikut Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), supaya tiap tahun Negara dapat pajak yang besar. Eh, ini yang ada malah kayak preman, belum apa-apa sudah malakin orang duluan," rutuknya.


Abdul Aziz

377