Home Politik UGM: Buzzer Tak Bisa Disetop, Literasi Digital Solusinya

UGM: Buzzer Tak Bisa Disetop, Literasi Digital Solusinya

Yogyakarta, Gatra.com - Aktivitas buzzer atau pendengung yang mendukung atau menolak suatu hal di media sosial dinilai tak bisa dihentikan. Buzzer yang datang dari pihak pro dan kontra pemerintah, mesti mendapat literasi digital.

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wisnu Martha Adiputra menyatakan buzzer tidak bisa dihentikan selama teknologi memungkinkan.  “Media baru kan semakin mudah. Jadi akan sulit menghentikan karena akan terus ada itu," kata Wisnu, seperti dilansir dari laman UGM, ugm.ac.id, Jumat (5/3).

Ia menampik anggapan bahwa buzzer menjadi sumber kekacauan di dunia maya. Menurutnya, masalah utama pengguna media baru saat ini adalah rendahnya literasi digital.

Wisnu menjelaskan, di era media sosial, negara-negara yang menerapkan demokrasi pasti terkena imbasnya sat warga dibebaskan beropini. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara otoriter, seperti Myanmar dan Cina.

“Problemnya orang masih belum bisa membedakan mana disebut pendapat, mana disebut hoaks, ujaran kebencian dan menyerang. Ini buah dari keterbukaan. Kok bisa dikatakan sumber kekisruhan. Padahal buzzer ini terdiri dua pihak lho, pihak pro pemerintah dan kontra," ucapnya.

Sayangnya, kata Wisnu, buzzer kadang hanya dilihat dari sisi pemerintah. Padahal, buzzer-buzzer kontra pemerintah juga banyak dan itu menandakan mereka melengkapi sistem demokrasi.

Untuk itu, membuat media sosial nyaman menjadi tantangan sekaligus tugas bersama. Upaya peningkatan literasi digital di masyarakat pun bukan hanya menjadi tugas pemerintah.

“Seperti di Departemen Ilmu Komunikasi UGM, bersama dengan banyak peneliti dan dosen lain kampus dan organisasi-organisasi di masyarakat membuat Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi)," katanya.

Tak kurang 250 pegiat literasi digital dari sekitar 80 kampus bergabung di Japelidi. Komunitas ini berperan menggalakkan literasi digital di kampus-kampus. “Di luar itu ada juga gerakan di masyarakat semacam Mafindo yang anti-hoaks dan siber kreasi yang ada di kelompok-kelompok masyarakat sipil," ujarnya.

Wisnu menjelaskan media massa saat ini ditantang untuk menghadirkan fakta dan informasi berkualitas secara independen. Namun saat ini sejumlah media dimiliki oleh segelintir orang dengan kepentingan politik.

Menurutnya, kondisi itu menjadi salah satu faktor penghambat demokrasi. Kepemilikan media semestinya dipermudah dan tidak diperuntukkan orang-orang di panggung politik.

“Kalau sekarang terlihat banget TV A, TV B, itu dukung siapa. Sebaiknya tidak begitu, harus independen. Dia harus punya posisi dan harus dilindungi dan tidak boleh diserang. Nah, problemnya sekarang ini, media kan juga diserang oleh buzzer, makanya buzzer ini harus mendapat literasi digital," katanya.

575