Home Info Sawit Di 'Sarang Hilirisasi' Petani Sawit Banten Murung

Di 'Sarang Hilirisasi' Petani Sawit Banten Murung

Banten, Gatra.com - Harapan Wahidin Halim terhadap komiditi kelapa sawit nampaknya makin besar. Selain telah nyata menjadi penopang utama ekonomi Nasional, bagi Gubernur Banten ini, sawit adalah komiditi penanggulangan dini kemiskinan.

Itulah makanya, walau luas kebun kelapa sawit di ujung Barat Pulau Jawa ini hanya sekitar 18 ribu hektar, lelaki 66 tahun ini ingin kebun seluas itu bisa memberikan dampak yang optimal.

Hanya saja, apa yang diharapkan oleh doktor ilmu pemerintahan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung ini dalam sambutannya yang dibacakan oleh Kepala Dinas Pertanian Banten, Agus M. Tauchid, Selasa (16/3), tak semudah yang dibayangkan.

Sebab di acara Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Kelembagaan Petani Kelapa Sawit Provinsi Banten 2021 dan pengukuhan Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW-Apkasindo) Banten di salah satu hotel di kawasan Anyer, Ketua DPW Apkasindo Banten, Wawan, justru mengeluh.

Sampai-sampai muncul wacana Apkasindo Banten mendirikan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sendiri jika pabrik yang ada masih tetap bertahan dengan pola pembelian TBS petani swadaya seperti sekarang, "Mau tak mau kami akan lakukan itu," katanya.

Sebab selama ini kata Wawan, harga yang diterima petani hanya setengah dari harga Tandan Buah Segar (TBS) petani yang ada di Sumatera maupun Kalimantan.

Wawan menduga bahwa rendahnya harga TBS petani Banten ini lantaran selama ini, cuma 2 PKS yang ada. Padahal kalau menurut luasan kebun yang ada, idealnya 3-4 PKS sudah harus ada.

"Lantaran cuma dua PKS, keduanya sangat "merdeka" lah menekan harga TBS petani. Di Banten sendiri, dari sekitar 19 ribu hektar kebun kelapa sawit, sekitar 13 ribu hektar justru milik pekebun," katanya.

Nah, dua pabrik tadi kata Wawan, baru melayani tanaman sawit yang eksisting sekarang. "Gimana pula nanti kalau tanaman program PSR di Banten sudah masuk masa Tanaman Menghasilkan (TM) dengan produktivitas 2-3 kali lipat dari tanaman sebelumnya, tentu akan semakin runyamlah persoalan harga ini," rutuknya.

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung dalam sambutan sekaligus arahannya mengatakan, dari cerita Ketua DPW Prov Banten tadi, semestinya PKS menganakemaskan petani, tapi faktanya justru terbalik, malah petani yang bergantung pada PKS dan terkesan diperbudak.

"Aneh memang, pabrik hilir dan turunan CPO dominan ada di Banten. Dengan kondisi seperti ini, mestinya harga TBS petani di Banten lebih mahal ketimbang di daerah lain lantaran biaya mobilisasi CPO-nya jauh lebih hemat," katanya.

Ada 3 solusi menurut Gulat untuk menaikkan harga TBS petani itu. Pertama, kemitraan setara antara korporasi dan petani.

Kedua, petani membangun PKS sendiri dan terakhir, segera membuatkan Peraturan Gubernur (Pergub) Banten tentang Tataniaga TBS.

Konsep satu harga TBS seluruh Indonesia yang digulirkan oleh Apkasindo awal tahun lalu kata Gulat sudah membawa hasil di beberapa provinsi perwakilan Apkasindo.

"Tapi khusus di Banten, harus atur strategi lagi lantaran nampaknya saja gampang, tapi sudah berkarat," ujarnya.

Jadi, dari sekarang kata Gulat, harus jelas "roadmap" TBS pasca PSR, jangan malah jadi bumerang 3 tahun ke depan.

"Enggak ada cara lain. Harga yang ada selama ini, itu harga pembodohan ke petani. Per minggu ini, harga TBS di Sumatera sudah di kisaran p2.450/kg. Di Banten, justru masih Rp1.100-Rp1.200," Gulat membandingkan.

"Kok tega bikin harga kayak gitu ya? Terus terang, hasil Training Of Trainer (TOT) ini akan kami laporkan ke KSP Mendengar, biar sekalian ketahuan di mana permainannya, ini bukan politik dagang lagi, tapi sudah perampasan," Gulat nampak gusar.

"Saya ingin analogikan kasus Banten ini dengan pertanyaan kami di Sumatera. Kenapa harga minyak goreng --- khususnya di sekitar perkebunan sawit lebih mahal ketimbang di Jawa (Banten). Jawaban yang ada selama ini adalah: lantaran minyak goreng diolah di Banten lalu dibawa ke Sumatera. Lha, kalau begitu, TBS di Banten lebih mahal dong," Gulat tertawa.


 

922