Home Politik Pemerintah dan Masyarakat Wajib Junjung Tinggi Toleransi

Pemerintah dan Masyarakat Wajib Junjung Tinggi Toleransi

Jakarta, Gatra.com – Intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama masih menjadi persoalan yang perlu mendapat penanganan yang komprehensif dan holistik dari berbagai elemen. Pasalnya, persoalan tersebut memicu peningkatan ketegangan lintas identitas yang mengancam tata kehidupan bersama yang berbasis keberagaman.

Laporan Riset SETARA tentang Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) ke-14 atau tahun 2020 yang dirilis awal bulan ini, menunjukkan bahwa aneka pelanggaran atas KBB, intoleransi, dan diskriminasi, masih terus memprihatinkan, bahkan di tengah pandemi Covid-19 sekalipun.

Dalam jketerangan tertulis pada Selasa (13/4), SETARA mencatat, terdapat 180 peristiwa dan 422 tindakan pelanggaran KBB sepanjang pandemi tahun 2020. Belakangan ini ada beberapa aksi terorisme dan penangkapan terduga teroris yang mengancam kedamaian dalam tata masyarakat yang bineka.

Meski demikian, dalam webinar yang diselenggarakan SETARA Institute pada Kamis (8/4) dengan tajuk “Promosi Toleransi dan Penghormatan terhadap Keberagaman di Tingkat Kota", semangat pemerintah kota untuk memperbaiki potret buram intoleransi, melalui inisiatif dan arah kebijakan kota-kota yang kondusif bagi pemajuan toleransi, muncul ke permukaan.

Wali Kota Bogor, Bima Arya, misalnya, menyebutkan, secara eksplisit bahwa ia ingin mengembalikan Bogor sesuai sejarahnya, yakni Kota Toleran. Beberapa cara akan dilakukan untuk menggelorakan semangat kebersamaan dalam keberagaman tersebut, seperti mendorong dan menjamin pelaksanaan pelbagai kegiatan, mulai dari perayaan Cap Gomeh, Natal, dan perayaan-perayaan lainnya.

Dalam konteks kasus GKI Yasmin, wali Kota Bogor menyatakan sudah memiliki titik terang yang ditargetkan akan selesai tahun 2021. Janji penyelesaian kasus GKI Yasmin ini perlu untuk terus dikawal. Sebagaimana dicatat publik, dalam Seminar Publik SETARA Institute, Bima Arya, juga pernah menyampaikan janji penyelesaian kasus GKI Yasmin pada akhir 2019, kemudian menyampaikan janji yang sama pada medio 2020.

Begitu pun dengan Wali Kota Malang, Sutiaji, yang melakukan penguatan program deradikalisasi agar bibit-bibit yang mengarah kepada radikalisme dan ekstremisme dapat dicegah dan diminimalisir. Sutiaji pun ingin mewujudkan kota yang rukun dan toleran berasaskan keberagaman dan keberpihakan masyarakat dan gender.

Menariknya, inisiatif-inisiatif yang dilakukan Sutiaji tersebut tetap menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat dari masyarakatnya sehingga tak ada cara-cara yang represif.

Tekad yang sama juga disampaikan oleh Wali Kota Makassar, Ramdhan Pomanto, yang pascakasus bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, menggerakkan kewaspadaan dini masyarakat dengan memobilisasi organ-organ yang ada tapi belum optimal, seperti Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM).

Selain itu, Wali Kota Salatiga, Yuliyanto, juga menegaskan bahwa inisiatif dan agenda pemajuan toleransi oleh pemerintah-pemerintah kota memang perlu disebarluaskan dan ditularkan ke seluruh unit pemerintahan di Indonesia. Yang paling pokok, tentu saja level kepemimpinan.

Praktik dan pemajuan toleransi membutuhkan political will dan kepemimpinan yang kuat. Salatiga sudah membuktikan, paling tidak dengan pencapaian sebagai kota dengan skor toleransi tertinggi menurut Indeks Kota Toleran tahun 2020.

Berbagai inisiatif dan arah kebijakan tersebut, menurut SETARA Institute, memperlihatkan gerak maju kepemimpinan toleransi. Hal ini dibarengi dengan penegasan Presiden dalam sambutan beliau pada Peresmian Pembukaan Mukernas dan Munas lim Ulama PKB pada Kamis (8/4), bahwa Pemerintah tegas dan tidak akan berkompromi dengan intoleransi dalam beragama.

Untuk mengatasi persoalan yang muncul, tentu dibutuhkan kerja bersama dari seluruh pihak, baik dari pihak pemerintahan negara maupun dari pihak masyarakat. Dalam konteks itu, SETARA memandang bahwa kontribusi pemerintah daerah, khususnya kota yang keanekaragamannya tinggi, organ masyarakat sipil, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh masyarakat, sebagai sesuatu yang urgen.

Dalam studi Indeks Kota Toleran, SETARA berulang kali menegaskan bahwa toleransi adalah DNA bangsa Indonesia. Secara historis, nenek moyang kita mewariskan toleransi agar antar-anak bangsa yang berbeda-beda suku, etnis, dan daerah, antar-agama serta kepercayaan, dan keragaman identitas lainnya, dapat saling berinteraksi, bergotong royong, dan bersama-sama membangun kerukunan dan harmoni.

362