Home Ekonomi Cerita 'Jual Murah' Kayu Alam

Cerita 'Jual Murah' Kayu Alam

Jakarta, Gatra.com - Guru Besar Ilmu Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini hanya bisa geleng-geleng kepala setelah menghitung kembali besaran duit yang diterima oleh otoritas kehutanan dari hasil 'menjual' kayu alam lewat izin yang diberikan kepada korporasi.

Bahwa duit yang diterima itu terlalu kecil ketimbang harga kayu alam sebenarnya yang dijual dipasaran. Begitu juga penerimaan dari hutan tanaman, juga dianggap terlalu kecil.

Khusus yang satu ini, keanehan lain muncul. Bahwa lahan yang berproduksi alias termanfaatkan, teramat kecil ketimbang luas izin yang sudah dikantongi oleh korporasi hutan tanaman.

"Saya coba menghitung berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 12 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) nomor 64 tahun 2017 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Ganti Rugi Tegakan," cerita Prof. Sudarsono Soedomo saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin.

Pada PP nomor 12 tahun 2014 itu kata lelaki 64 tahun ini, tarif PSDH adalah 10% dari harga patokan. Untuk harga patokan mengikuti, Permenhut nomor 64 tahun 2017 tadi.

"Pada tahun 2017, dilaporkan kalau produksi kayu bulat dari hutan alam adalah 5.407.235 meter kubik, lalu produksi kayu bulat dari hutan tanaman sekitar 37.798.711 meter kubik. Saya asumsikan bahwa harga patokan rata-rata kayu bulat hutan alam dan hutan tanaman masing-masing Rp750 ribu dan Rp140 ribu per meter kubik," terangnya.

Dari data dan asumsi di atas, PSDH yang diperoleh negara kata Sudarsono adalah Rp934.724.579.000. Angka ini mirip dengan PSDH yang dilaporkan;  Rp917.669.361.849. "Ada sih selisih sekitar Rp17 milyar, masih sangat wajar lah. Soalnya perhitungan saya sangat kasar," ujarnya.

Sejujurnya, bukan selisih Rp17 miliar itu yang jadi masalah pokok, tapi justru harga patokan kayu bulat tadi, jadi pertanyaan Sudarsono. Soalnya di tahun itu, harga kayu bulat dari hutan alam rata-rata sudah di atas Rp1,5 juta per meter kubik.

"Kalau yang Rp1,5 juta itu jadi acuan, maka pada tahun 2017, negara sudah memberikan cuma-cuma Rp405 milyar kepada pemegang izin. Gimana pula jika harga rata-rata kayu bulat dari hutan alam itu lebih tinggi dari Rp1,5 juta per meter kubik? Tentu hadiah kepada pemegang izin itu akan lebih besar lagi. Artinya, negara lebih dirugikan lagi," katanya.

Pertanyaan lanjutan yang kemudian muncul kata Sudarsono, apa benar sungguh-sungguh gratis? "Well, whatever the case, we know there is no free lunch (Ya, apapun masalahnya, kita tahu enggak ada makan siang gratis," katanya datar.

"Sebaiknya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit gimana sebenarnya harga patokan itu dirumuskan," tambahnya.

Lantas dengan menggunakan asumsi produksi kayu bulat dari hutan tanaman adalah 125 meter kubik per hektar dan daurnya 6 tahun (lantaran umumnya kayu pulp), "Kita bisa menghitung berapa hutan tanaman yang ada di lapangan; luas total penanaman dikurangi luas total penebangan," Sudarsono merinci.

Dengan produksi kayu bulat hutan tanaman sekitar 37,8 juta meter pada tahun 2017 tadi, maka luas tebangannya hanya 302 ribu hektar.

"Lantaran daurnya 6 tahun, maka luas total hutan tanaman yang secara fisik ada di lapangan adalah 1,8 juta hektar," terangnya.

Sekadar informasi kata Sudarsono, IPB University sudah pernah menyelenggarakan seminar nasional pembangunan hutan tanaman pada tahun 1984.

"Tiga puluh tujuh tahun kemudian, itulah hasilnya. Sementara, izin yang diberikan sudah mencapai 11,1 juta hektar. What are you doing guys?" lagi-lagi Sudarsono bertanya.

Apa yang disampaikan Sudarsono ini tentu bertolak belakang dengan komitmen yang selalu disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sepanjang Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR, beberapa waktu belakangan.

Sepanjang RDP itu, KLHK mengaku sangat konsen mempertahankan tutupan hutan dan bahkan mengembalikan tutupan hutan yang sudah hilang.

Bahkan kelapa sawit yang dianggap masuk dalam kawasan hutan pun, sepanjang bisa dihutankan, akan dihutankan.

Gatra.com masih harus meminta klarifikasi atas hitungan Sudarsono tadi kepada KLHK meski sebetulnya, beberapa kali Gatra.com berusaha meminta tanggapan terkait perhutanan hutan, KLHK tidak pernah mau memberikan jawaban.


 

839