Home Hukum Mesak Habary: Jokowi Tak Konsisten dengan Ucapannya Sendiri

Mesak Habary: Jokowi Tak Konsisten dengan Ucapannya Sendiri

Jakarta, Gatra.com- Pada pemilihan presiden (pilpres) Indonesia 2019 lalu, Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) telah berjanji akan serius dalam mendorong penguatan di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, Juru bicara Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Mesak Habary menilai Jokowi tak konsisten dengan ucapannya sendiri.
 
Lahirnya UU No 19 Tahun 2019 atas perubahan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah bukti bahwa Jokowi tidak konsisten dengan ucapannya sendiri, ini adalah upaya melemahkan lembaga anti rasuah yang selama ini memiliki kontribusi besar terhadap negara, kata Habary, mengutip dari keterangan tertulisnya yang diperoleh Gatra.com pada Kamis pagi, (6/5).
 
Sementara itu, Habary menuturkan, Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) pada tahun 2019 kemarin sempat menuai protes dari berbagai elemen bangsa, mulai dari mahasiswa, organisasi anti-korupsi, pakar hukum, ahli hukum, bahkan datang dari kalangan pelajar. Upaya protes RUU KPK juga sampai memakan korban nyawa. Tetapi suara-suara itu tidak pernah digubris oleh penguasa negeri, padahal demokrasi di Indonesia harus diimplementasikan secara fundamental sesuai dengan asas yang mengamanatkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, terangnya.
 
Selain gerakan demonstrasi, ujarnya, langkah-langkah perjuangan pun dilakukan lewat jalur formal yakni uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan harapan agar MK dapat menerima seluruh gugatan. Secara konstitusi, MK adalah lembaga hukum yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final.  Tapi nyatanya, itu semua sangat jauh dari harapan dan keinginan rakyat. Ini terbukti dari putusan MK pada 04 Mei 2021 yang menolak semua gugatan uji materi dari penggugat. Ini adalah upaya yang terstruktur, sistematis dan masih untuk melemahkan KPK, ungkap Habary.
 
Upaya pelemahan KPK dapat dibuktikan dengan keputusan pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk tersangka yang merugikan negara senilai 4,58 trilliun rupiah. Padahal masih banyak kasus yang belum diselesaikan oleh lembaga anti rasuah, bahkan sangat berpotensi kasus-kasus tersebut akan selesai setelah jangka waktu 2 tahun keluarnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Bahkan, di bebaskan atas tuduhan-tuduhan yang ada. "Alhasil, itu sangat jelas bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 006/PUU-1/2003 tertanggal 30 Maret 2004," imbuhnya.
172