Home Politik Tes Wawasan Kebangsaan KPK, Doa Qunut, dan Teori Konspirasi

Tes Wawasan Kebangsaan KPK, Doa Qunut, dan Teori Konspirasi

Yogyakarta, Gatra.com - Tes wawasan kebangsaan bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dievaluasi. Namun, tes yang disebut memuat sejumlah pertanyaan aneh itu, seperti soal doa qunut, bukan berarti lantas wujud konspirasi negara untuk menghancurkan KPK.

Hal itu disampaikan Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Wahyudi dalam pernyataan tertulis dari UGM, Kamis (6/5) malam.  

Meski perlu dievaluasi, menurut Agus, publik juga tidak bisa langsung percaya dengan teori yang menyebut bahwa di balik tes ini terdapat persekongkolan lembaga-lembaga pemerintah untuk melemahkan KPK atau secara khusus menarget individu tertentu agar tidak lagi berada di KPK.

Tes itu disebut sebagai upaya untuk menyingkirkan penyidik KPK yang mengusut kasus-kasus korupsi besar, seperti Novel Baswedan.

“Tidak berarti kita bisa menyetujui pengertian bahwa ada rekayasa atau niat jahat dari penyelenggara apalagi keseluruhan pemerintahan seperti yang dikatakan oleh sejumlah kritikus bahwa lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif berkolaborasi atau bersengkongkol untuk melemahkan KPK,” ujar Agus.

Menurut Agus, teori konspirasi semacam ini terkadang dianggap paling mudah menjelaskan peristiwa yang rumit atau pelik dan melibatkan aktor-aktor yang tidak terlihat. “Teori konspirasi adalah teori bagi orang-orang yang malas berpikir serius dan memahami cara bekerja sesuatu secara akurat dan apa adanya,” ucapnya.

Dalam keterangan resmi KPK, tes wawasan kebangsaan itu untuk pengalihan status pegawai menjadi ASN sesuai UU Nomor 19 Tahun 2019 dan PP Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN serta Peraturan KPK Nomor 1 Tahun  2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN.

Tes digelar KPK bekerjasama dengan BKN dan diikuti 1.351 pegawai KPK. Dari jumlah tersebut, sebanyak 75 orang dinyatakan tidak memenuhi syarat. Pertanyaan-pertanyaan dalam tes itu disebut meliputi soal doa qunut atau pandangan tentang LGBT sehingga dianggap sejumlah pihak aneh dan tidak normal.

Doa qunut adalah doa yang diucapkan umat Islam, biasanya oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), saat salat Subuh. LGBT adalah lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Selain itu, aspek penjaminan mutu untuk konten dan pelaksanaan tes ada indikasi tidak terjaga atau tidak profesional. Agus menilai, pengkajian serius diperlukan terhadap instrumen tes ini. “Perlu kehati-hatian dan tidak seharusnya dipolitisasi,” kata Agus.

Menurutnya, pegawai KPK membutuhkan tes keahlian dalam bidang khusus yang akan menentukan profesionalitas dalam bidang pekerjaannya. Komitmen pada konstitusi, termasuk dasar negara dan prinsip-prinsip kebangsaan, bisa diwujudkan dalam pledge atau kontrak yang dapat diperbarui setiap beberapa tahun dan tidak harus dalam bentuk tes kemampuan.

“Saya tidak tahu apakah tes wawasan kebangsaan yang dipergunakan untuk tes pegawai KPK saat ini relevan untuk itu dan apa pertimbangannya,” ucapnya.

Untuk menilai kualitas tes, Agus menyatakan diperlukan kajian dan waktu. Namun tes skrining ideologis seperti pada zaman Orde Baru seharusnya tidak lagi diperlukan.

“Cara berpikirnya perlu diubah. Komitmen ideologis bentuknya sebaiknya kontrak tertulis, bukan berupa tes. Pelanggar kontrak kelak bisa diberi sanksi misalnya oleh atasannya,” imbuh Agus.

280