Home Gaya Hidup Ini Sebab Warga Gampang Ngamuk di Masa Pandemi

Ini Sebab Warga Gampang Ngamuk di Masa Pandemi

Yogyakarta, Gatra.com - Sejumlah video yang menunjukkan pemudik marah-marah viral di media sosial belakangan ini. Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Diana Setiyawati mengungkap mereka tengah berada pada fase kekecewaan di era pandemi Covid-19 ini.

“Kondisi ini secara umum disebut fase kekecewaan dalam respons psikologis bencana. Penuh dengan kekecewaan dan tanda tanya kapan pandemi akan berakhir,” kata Diana dalam pernyataan tertulis UGM, Rabu (19/5) malam.

Dosen sekaligus Peneliti Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM ini menyebut masyarakat sangat sensitif di masa pandemi ini. Kelelahan akibat pandemi menjadikan manusia menjadi tidak rasional.

Kondisi ini ditambah kebijakan pembatasan mobilitas, termasuk larangan mudik dan penyekatan di perbatasan wilayah. Akibatnya, ruang gerak manusia sebagai makhluk sosial untuk terhubung secara langsung semakin terbatas.

Ia menuturkaan, sebagian orang memang bisa beradaptasi di situasi saat ini melalui sarana digital. Namun banyak orang tidak bisa menyesuaikan dengan cara tersebut, seperti orang tua di kampung halaman.

“Sudah dua kali lebaran tidak bisa mudik, sementara perasaan ingin bertemu keluarga sangat kuat. Kondisi ini bisa dipahami jika menjadikan masyarakat mudah marah karena ini menyakitkan bagi mereka. Psikologis masyarakat sudah lelah terhadap pandemi dan hasrat untuk terhubung menjadi sangat besar,” paparnya.

Diana menjelaskan, pandemi membuat manusia mengalami fase-fase dalam respons psikologi bencana. Pertama, predisaster, yaitu situasi normal sebelum terjadi wabah.

Fase impact atau inventory yakni saat bencana muncul emosi kebingungan, ketakutan, kehilangan, kemudian merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang lebih.

Berikutnya fase heroik, orang merasa terpanggil melakukan aksi heroik untuk membantu orang lain. Selanjutnya fase honeymoon yang terjadi sekitar tiga bulan di masa awal bencana berupa harapan segera pulih dari bencana.

“Lalu, fase disillusionment. Setelah bencana berlangsung beberapa saat, orang merasakan kekecewaan karena pandemi yang tidak selesai-selesai dan merasa kecewa akan kondisi yang ada,” katanya.

Menurut Diana, fase kekecewaan ini mudah mengalami naik turun. Kondisi ini terjadi jika ada situasi pemicu, seperti larangan mudik tersebut. Fase terakhir, rekonstruksi, yakni fase saat pandemi terkendali nantinya.

Menurutnya, mengatasi kekecewaan akibat pandemi bukanlah hal mudah. Penyelesaian pada level mikro dengan manajemen emosi melalui peningkatan spiritualitas dan literasi atas kondisi pandemi tidaklah cukup. Penyelesaian juga diperlukan di tingkat makro melalui kebijakan pemerintah.

“Marah karena secara ekonomi kesulitan, tapi tidak mudah bagi Indonesia yang merupakan negara besar memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini memang sulit. Pada akhirnya, kembali ke keluarga dan individu. Semangat yang harus dikedepankan saat ini adalah gotong royong untuk saling meringankan beban,” tuturnya.

84