Home Info Sawit Uni Eropa Dorong Peningkatan Polusi Global?

Uni Eropa Dorong Peningkatan Polusi Global?

Jakarta, Gatra.com - Kalau memang Uni Eropa benar-benar sayang dengan lingkungan global, lanjutkan penggunaan minyak sawit!

Seruan ini muncul bukan lantaran Indonesia penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Atau Indonesia takut sawitnya enggak laku.

Enggak pun Uni Eropa membeli minyak sawit Indonesia, negeri ini enggak akan rugi. Sebab di dalam negeri, mandatori biodiesel akan terus berjalan.

Begitu juga dengan teknologi biohidrokarbon, serta oleokimia. Praktis, kebutuhan minyak sawit dalam negeri akan semakin bengkak.

"Alasan kita meminta supaya minyak sawit tetap dipakai, justru demi menghadang deforestasi dan kerusakan lingkungan dunia lainnya," kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, blak-blakan, saat berbincang dengan Gatra.com, Jumat (21/5).

Baca juga: Biodiesel Sawit UE Stop, 6 Juta Ha Hutan Dunia Gundul Lagi

Soalnya data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2013 kata doktor ilmu ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyebut, tiap ton produksi minyak kedelai menyisakan polusi ke tanah dan air.

Jumlahnya juga tak sedikit. Dalam bentuk residu, Nitrogen mencapai 32 kilogram, Posfat 23 kilogram dan Pestisida 23 kilogram.

"Kalau produksi minyak kedelai digenjot 3 juta ton lagi, maka polusi tanah dan air mencapai 96 ribu ton residu Nitrogen, 69 ribu ton residu Pospat dan 69 ribu ton residu Pestisida. Ini akan sangat berbahaya bagi masa depan bumi ini," Ketua Tim Lintas Kementerian dan Asosiasi Penyusunan Roadmap Industri Sawit Indonesia merinci.

Memang kata Tungkot, sawit juga memakai Nitrogen, Posfor dan Pestisida. Tapi volume justru jauh dibawah yang dibutuhkan Soybean dan Rapeseed.

Masih pada data FAO kata Tungkot, residu Nitrogen yang disisakan oleh satu ton minyak sawit hanya 5 kilogram, Pospat 2 kilogram dan Pestisida 0,4 kilogram.

Rapeseed Oil sendiri, dalam satu ton minyaknya, menyisakan residu 10 kilogram Nitrogen, 13 kilogram Pospat dan 9 kilogram Pestisida.

"Dan ingat, kalau ditotal, luas kebun kelapa sawit di dunia ini hanya 24 juta hektar. Di Indonesia 16,38 juta hektar. Sementara total luas lahan Soybean, Rapeseed dan Sunflower justru malah sudah mendekati 200 juta hektar," katanya.

Walau juga menghasilkan residu, sawit kata Tungkot justru punya kemampuan menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen yang luar biasa.

Hasil penelitian Robert Henson seorang ahli ekofisiologi asal Oklahoma City, Amerika Serikat, satu hektar sawit mampu menyerap karbon diokside 64,5 ton dan menghasilkan 18,7 ton oksigen. Sementara satu hektar Soybean hanya mampu menyerap 6,4 ton karbondioksida.

Dari semua uraian tadi kata Tungkot, larangan penggunaan minyak sawit itu justru akan meningkatkan polusi pada tanah dan air secara global

"Jadi sangat terang menderang bahwa kebijakan Uni Eropa melarang penggunaan minyak sawit untuk biodiesel, bukan mencegah deforestasi, tapi memicu deforestasi dunia yang lebih besar dan mencemari tanah dan air yang lebih besar. Nah, kalau larangan penggunaan sawit itu juga berlaku untuk pangan, maka deforestasi dan pencemaran lingkungan akan lebih besar lagi," Tungkot memastikan.

Tapi kalau Uni Eropa promosikan penggunaan minyak sawit, efek ganda tak hanya dirasakan oleh Uni Eropa tapi juga dunia. Sebab deforestasi maupun pencemaran lungkungan, akan jauh berkurang.

Terus, dengan biodiesel sawit, Uni Eropa akan bisa menurunkan emisinya secara siginifikan. Sebab data Nederland Environmental Asesment Agency (NEAA) tahun lalu menyebut bahwa emisi Uni Eropa mencapai 4,5 giga ton CO2.

Sementara emisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit dunia hanya 0,9 giga ton CO2. "Berarti emisi Uni Eropa lebih tinggi 5 kali lipat ketimbang Indonesia," Tungkot membandingkan.


Abdul Aziz

103