Home Milenial Jikalahari Kritik Gelar Adat dari LAMR untuk Jokowi

Jikalahari Kritik Gelar Adat dari LAMR untuk Jokowi

Pekanbaru, Gatra.com - Gelar adat 'Datuk Setia Amanah Negara' yang diberikan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) Desember 2018 silam, mulai dipertanyakan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari).
 
Pasalnya, pasca-mantan Walikota Solo itu mendapat gelar tersebut, korporasi justru gencar mengkriminalisasi masyarakat adat di Provinsi Riau.
 
Demikian disampaikan Made Ali, Koordinator Jikalahari dalam keterangan tertulis diterima Gatra.com, Kamis (20/5). "Ada banyak terjadi kriminalisasi masyarakat adat oleh korporasi HTI sepanjang 2018-2021. Seperti, menebang kepungan sialang, merampas hutan tanah masyarakat adat dan pencemaran sungai yang bersebati dengan masyarakat adat," kata Made.
 
Bahkan, kata Made, APP grup (Sinarmas Grup) melalui anak usahanya PT Arara Abadi mengkriminalisasi masyarakat adat Sakai Bongku bin Jelodan. Bongku dipenjara 1 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah karena dilaporkan PT Aara Abadi ke polisi.
 
Bongku dituduh menebang 20 batang eukaliptus dan menanam ubi di tanah yang diklaim oleh PT Arara Abadi berada di konsesinya. Anehnya, PT Arara Abadi mengatakan tidak ada wilayah adat Sakai di Bengkalis. 
 
Tidak hanya sampai disitu, kata Made, pada 27 April 2021 lalu, sekitar 200-an sekuriti PT Arara Abadi juga mendatangi peladangan masyarakat adat Suku Sakai yang terletak di Dusun Suluk Bongkal. Para sekuriti merobohkan pondok dan mencabut tanaman yang telah ditanami oleh masyarakat Suku Sakai. 
 
"Sekuriti PT Arara Abadi tiba-tiba melakukan tindak kekerasan di Wilayah Adat Sakai di Bengkalis, hingga mengakibatkan 7 orang Masyarakat Adat sakit terluka. Begitu juga di Kabupaten Pelalawan, pada Desember 2020, PT Arara Abadi Distrik Nilo juga menumbang 23 pohon sialang di Kepungan Sialang Ampaian Todung milik Bathin Hitam Sungai Medang. Hasil investigasi Jikalahari bersama Datuk Batin dari Lembaga Adat Melayu Riau Kabupaten Pelalawan, melihat langsung Kepungan Sialang Ampaian Todung yang telah ditumbang oleh PT Arara Abadi seluas 2 hektare," jelasnya.
 
Padahal lanjut Made, dari informasi Batin, pohon sialang itu saat ini hanya tinggal 27 batang saja. Pohon itu  yang berumur ratusan tahun (jenis kayu Kompe, Kulim, Keriung) menjadi tempat bersarang lebah. Namun, sekarang hanya tersisa 4 batang lagi akibat kejahatan anak perusahaan PT Arara Abadi. 
 
"Padahal, itu menjadi sumber ekonomi masyarakat adat. Madu yang berasal dari lebah yang hidup khusus di pohon sialang itu menjadi salah satu pendapatan masyarakat ada di sana," kata dia.
 
Selain PT Arara Abadi, lanjutnya, pencemaran limbah juga dilakukan oleh PT Asia Pacific Rayon (April Grup). Perusahaan yang beroperasi di dalam komplek PT RAPP di Pelalawan itu membuang limbah yang berdampak pada masyarakat adat di Pelalawan. Bahkan, saat musim hujan maupun musim kemarau, bau menyengat mempengaruhi pernapasan warga di sana.
 
"Lain halnya dengan, PT Nusantara Wana Raya. Perusahaan ini juga yang terlibat mengusir masyarakat adat gondai dari wilayah adat mereka. Lokasi masyarakat adat ini berada di wilayah kerja APP dan APRIL. Jika dihitung-hitung, kedua perusahaan besar itu menguasai 2,1 juta hektar kawasan hutan di wilayah adat di Provinsi Riau, seperti Suku Sakai, Suku Bonai, Suku Talang Mamak, Suku Petalangan, Suku Akit, Suku Anak Rawa, Pesisir, Suku Laut dan Suku Hutan," kata dia.
 
Bukan saja korporasi swasta, kata Made, korporasi milik negara, PTPN V juga ikut mengkriminalisasi Masyarakat Adat di Desa Pantai Raja, Kabupaten Kampar. Bahkan, Direktur PTPN V, Jatmiko K Santosa melaporkan masyarakat ke Direskrimsus Polda Riau setelah ratusan warga Pantai Raja menduduki areal afdeling 1 Kebun Sei Pagar.
 
Selama hampir satu bulan, masyarakat mendirikan tenda, menutup akses mobil tangki minyak mentah dan menghalangi aktivitas kebun lainnya pada Agustus 2020. "Maka itu, kita meminta kepada presiden agar menunaikan janjinya untuk melestarikan budaya melayu dan masyarakat adat," kata dia.