Home Internasional Menilik Sejarah Pendudukan Israel di Tanah Palestina

Menilik Sejarah Pendudukan Israel di Tanah Palestina

Jakarta, Gatra.com – Eskalasi konflik antara Palestina dan Israel masih memanas sampai saat ini. Kabar terbaru menunjukkan bahwa kepolisian Israel telah kembali menggempur Masjid Al-Aqsa walau gencatan senjata di antara dua kubu baru saja disetujui kurang dari 24 jam yang lalu, seperti dilansir oleh Al Jazeera English, hari ini, Jumat, (21/5).

Serangan yang dilancarkan Israel mendapat kecaman dari masyarakat internasional karena, hingga berita ini ditulis, Israel telah menewaskan sebanyak 223 warga Palestina. Akan tetapi, pengamat isu Timur Tengah asal Unpad, Dina Yulianti Sulaeman, menyayangkan bahwa tak sedikit pandangan-pandangan masyarakat internasional tersebut terpecah-belah karena adanya kegagalan mengenali akar masalah.

Dalam pandangan Dina, isu Palestina-Israel ini patut dicermati secara historis agar status kedudukannya bisa diidentifikasi dengan benar. Menurutnya, apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina adalah “settler colonialism” atau kolonialisme yang dilakukan oleh sekelompok penduduk.

Apabila dirunut jauh ke belakang, akar masalahnya bisa diidentifikasi dari Deklarasi Balfour pada tahun 1917. Deklarasi tersebut berisi surat dari pemerintah Inggris yang dikirim kepada tokoh pemimpin Yahudi Inggris bernama Rothschild. Dalam isi surat itu, Inggris menjanjikan kaum Yahudi bahwa tanah Palestina akan dijadikan “national home” atau rumah nasional kaum tersebut.

Enam tahun kemudian, pada tahun 1923, Liga Bangsa-Bangsa menyerahkan Mandat atas Palestina kepada Inggris. Mandat tersebut berisi wilayah yang kini terdiri dari Yordania, Israel, dan Palestina, yang diserahkan kepada administrasi Inggris hingga tahun 1948. Dengan demikian, dalam kurun waktu tersebut terjadi eksodus orang Yahudi besar-besaran dari Eropa ke Palestina.

Sebagai konteks, pada tahun 1922, jumlah orang Yahudi di Palestina berjumlah 83.794 jiwa. Lalu pada tahun 1947, populasi kaum Yahudi di tanah Palestina berada di kisaran angka 630.000 jiwa. Dengan kata lain, dalam kurun waktu 25 tahun tersebut, populasi warga Yahudi di Palestina meningkat delapan kali lipat.

Pada tahun 1947, setelah pendiriannya dua tahun sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi PBB No. 181. Resolusi tersebut berisi pembagian dua wilayah yang kini sedang diduduki oleh Israel. Sebesar 45% wilayah tersebut dialokasikan kepada negara Palestina, 55% lainnya diberikan kepada Israel.

Sementara itu, Yerusalem berada di bawah kontrol internasional. Wilayah ini disebut juga sebagai orpus separatum atau entitas yang terpisah. Pada dasarnya, wilayah ini seharusnya bersifat netral di mana pasukan pengaman militer non-eksisten. Pengelolaannya dilakukan oleh dewan perwalian yang berafiliasi dengan PBB.

Akan tetapi, ang terjadi di pada tahun 1948 tidak sesuai dengan perjanjian di atas kertas. Israel mampu menguasai Yerusalem Barat. Warga Palestina yang bermukim di sana terusir. Jumlah yang terusir ditaksir mencapai 28.000 orang. Sementara Yerusalem Timur, termasuk kota Tua dan Tepi Barat, dikontrol oleh Jordania.

Di tahun yang sama terjadi peristiwa di mana terjadi pengusiran warga Palestina dari tanahnya sendiri, baik secara paksa maupun sukarela. Di kemudian hari, peristiwa ini dikenal juga sebagai peristiwa Keluaran Palestina 1948 atau Al-Nakba.

Peristiwa tersebut disinyalir merupakan dampak dari resolusi PBB setahun sebelumnya. Karena diberi amanat pembagian wilayah oleh PBB, milisi Zionis Israel melakukan aski pengusiran di wilayah yang pada hari ini disebut sebagai “wilayah pendudukan Israel” itu.

“Di wilayah ini, kan, sudah ada orang-orang Arab Palestina. Yang terjadi adalah pengusiran besar-besaran. Pada waktu itu, sekitar 700.000 lebih orang Palestina terusir dan kemudian mereka tersebar ke mana-mana, termasuk ke wilayah yang dialokasikan untuk dijadikan negara Palestina,” ujar Dina dalam sebuah webinar bertajuk Solidaritas Indonesia untuk Rakyat Palestina di Wilayah Pendudukan Israel atas Palestina yang digelar Jumat, (21/5).

Pengusiran besar-besaran ini kemudian direspon oleh PBB dengan Resolusi No. 194 pada tahun 1949. Pada saat merilis Resolusi 181 dua tahun sebelumnya, PBB sesungguhnya tidak menginginkan adanya pengusiran dan perampasan seperti itu.

Resolusi tersebut berisi penyerahan hak-hak bagi rakyat Palestina untuk kembali ke tempat tinggal asalnya yang pada saat itu telah diduduki oleh Israel. Resolusi tersebut di kemudian hari dikenal juga sebagai “Rights to Return”. PBB menjamin apabila tidak bisa kembali ke wilayah asalnya, Palestina berhak mendapatkan ganti rugi. Akan tetapi, resolusi ini tidak dipatuhi oleh Israel sampai saat ini.

Berdasarkan Perjanjian Oslo pada tahun 1992-1993, Palestina hanya mengontrol sebanyak 18% area pendudukan Israel. Sementara 22% lainnya berada di bawah kontrol bersama antara militer Palestina dan Israel. Sementara sebagian besar lainnya, yakni 60% sisanya, dikontrol oleh Israel.

Saat ini, merujuk pada Pusat Biro Statistik Israel, populasi Yahudi Israel berada di kisaran angka 6.556.000 jiwa. Secara keseluruhan, populasi Israel berjumlah kurang lebih 9.000.000 jiwa.

Sementara populasi warga Palestina saat ini kurang lebih berjumlah 6.000.000 jiwa dengan rincian 3.000.000 orang bermukim di Yerusalem Timur, 2.000.000 lainnya bermukim di Gaza, dan sekitar 1.000.000 orang menjadi warga Israel. Angka tersebut belum termasuk rakyat Palestina lainnya yang berjumlah sekitar 6.000.000 jiwa yang mengungsi ke negara-negara Arab atau negara lainnya.

“Sampai sekarang yang terjadi adalah pendudukan, pembangunan permukiman ilegal, sehingga istilah yang tepat untuk kondisi saat ini adalah settler colonialism,” simpul Dina.

1719